Wednesday 22 November 2017

"This is the moment where you realize that line between friendship and professional is not what you thought it was" - Jim

Plot

Travis Conrad (Ethan Hawke) harus kembali dari masa hiatus nya akibat organisasi yang menaunginya, Red Mountain, meminta bantu tangannya. Diiming-imingi $ 2 Juta, Travis pun bersedia untuk bertugas kembali. Tugas Travis adalah untuk membunuh mantan agen Red Mountain, Keith Zera (Tyrone Keogh) yang kini menjadi informan penting bagi pemerintah Amerika Serikat yang mengetahui segala kebusukan Red Mountain. Jim dilindungi oleh para agen interpol, yang salah satunya adalah Lin (Xu Qing). Namun, agen-agen interpol lainnya tewas yang disebabkan serbuan mendadak dari pihak Red Mountain di perbatasan Afrika Selatan, meninggalkan Lin yang satu-satunya selamat dari serbuan tersebut. 


 

Review

Tidak butuh waktu lama, 24 Hours to Live telah menunjukkan jati diri mereka sebagai film aksi. Dengan menampilkan adegan baku tembak yang cukup brutal pada bagian pembuka film, sutradara Brian Smrz seolah ingin mengucapkan kepada penonton bila 24 Hours to Live adalah sajian film aksi yang akan dipenuhi dengan adegan aksi. Tentu saja ini yang diharapkan oleh para penonton pecinta film aksi. Namun, Smrz juga tidak ingin menyajikan semua adegan aksi dalam filmnya ini tanpa adanya dasar penceritaan yang kosong. Untuk menambah injeksi ketegangannya, diselipkan lah sebuah narasi yang mengharuskan karakter utamanya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam rangka menyelesaikan tujuannya. Sesuai judulnya, Travis hanya memiliki waktu 24 jam akibat dari kesalahan yang ia lakukan sehingga ia terlibat dengan prosedur rahasia yang sedang dikembangkan oleh Red Mountain.

Rasanya tidak perlu didebatkan lagi bila penceritaan dalam film ini cukup dangkal dan memang hanya dijadikan sebagai landasan untuk gelaran aksi-aksinya. Padahal 24 Hours to Live disokong penulisan naskah yang dikerjakan oleh 3 orang sekaligus, namun rupanya itu tidak cukup untuk mengembangkan penceritaan yang ada di dalam 24 Hours to Live. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa sebenarnya prosedur rahasia yang dialamatkan kepada Travis, minus juga sebenarnya organisasi apa Red Mountain yang digambarkan disini begitu powerfull serta berbahaya  sehingga begitu diburu oleh instansi pemerintah Amerika. Tujuan utama organisasi ini pun tidak begitu jelas. Tetapi sekali lagi, Smrz tampaknya memang ingin memfokuskan filmnya ini pada genre aksi, sehingga saya pun bisa memakluminya. Pasang ekspektasi pada tempatnya saja, dan mungkin kalian bisa menerima segala keanehan yang ada pada film ini. Maklumi saja bagaimana seorang agen perempuan yang sebelumnya tanpa diketahui apakah ia sangat ahli atau tidak, begitu perkasanya bisa selamat beberapa kali dari serbuan beberapa agen profesional. Yah, sebuah dosa yang lazim kita temukan dalam film semacam ini yang melibatkan karakter perempuan sebagai protagonis utamanya. 

Pada adegan aksinya pun sebenarnya tidak ada yang terlampau spesial karena telah banyak film-flim genre aksi yang menampilkan hal yang sama. Mungkin akibat durasi 93 menit nya yang cukup singkat, Smrz tidak memiliki pilihan untuk memutuskan pula mempersingkat adegan-adegan aksinya karena masih ada cerita yang perlu dikembangkan, walau sekali lagi, cerita yang ada pada 24 Hours to Live bisa dibilang cukup stagnan. Padahal banyak sekali sebenarnya adegan aksi yang bisa ditampilkan dalam waktu durasi yang lama. Seperti car chase di tengah pemukiman kumuh, serta pada adegan terakhirnya. Smrz memilih untuk mempercepat semua adegan itu, hingga jatuhnya adegan-adegan aksi disini terasa buru-buru dan sama sekali tidak ada yang memorable, walau susah untuk dikatakan juga bila kita tidak terhibur dengan sajian-sajian aksi tersebut.

Untungnya naskah pada 24 Hours to Live tidak lupa untuk menyuntikkan sedikit backstory pada karakter-karakter utamanya. Dimasukkan lah unsur keluarga pada tiga karakter utamanya, yang membuat kita bisa memaklumi setiap keputusan yang mereka ambil. Karakter Travis sendiri diceritakan bila ia baru saja kehilangan istri dan anaknya, sehingga dengan sentuhan tersebut, saya dan penonton lainnya dipaksa untuk mengerti mengapa Travis memilih untuk tidak menunaikan tugasnya, walau sebenarnya Smrz bisa memberikan pendalaman pada hubungan Travis dan Lin. Juga bisa saja kan diberikan sentuhan sedikit komedi pada interaksi mereka saat baru saja bertemu kembali, sehingga mungkin saja kritikus bisa memiliki alasan untuk sedikit menyukai 24 Hours to Live, toh pada saat ini, sajian ringan dengan sentuhan komedi di dalamnya sedang disukai oleh mereka *cough* MCU *cough. Karakter Lin pun diposisikan sebagai seorang single mother yang memiliki anak laki-laki semata wayang, yang diniati Smrz sebagai alasan untuk penonton supaya bisa mendukungnya. Yang menjadi permasalahan, plot armor yang Smrz serta 3 penulis naskahnya untuk Lin bagi saya sudah berlebihan. Kesalahan ini membuat saya tidak sepenuhnya mendukung Lin, meskipun ia diperani oleh wanita yang seharusnya mudah untuk saya sukai. *Spoiler Alert* Apalagi ia dengan begitu mudahnya sempat "membunuh" Travis yang telah terlibat one night stand dengannya *Spoiler End*

Keputusan Smrz untuk memakai jasa Ethan Hawke sebagai alpha male disini bisa dikatakan tepat sekali. Memang, Ethan Hawke bukanlah bankable actor, namun Hawke memiliki kharisma aktor yang membuat kita mudah untuk mendukungnya. Bahkan bisa saja bila 24 Hours to Live tidak ada perbelokan narasi, penonton tetap akan mendukung Hawke. Hawke juga memiliki kapabilitas akting yang meyakinkan dalam melakukan peran di bagian aksi atau juga saat karakternya dipaksa melakukan akting emosional. Saya tidak bisa untuk tidak simpati kepada Travis setiap saat ia berhalusinasi melihat sosok anaknya atau saat ia mengenang masa-masa kebersamaan dirinya dengan sang istri juga anaknya. Saya pun menyukai sentuhan Smrz pada karakter Jim (Paul Anderson) sebagai sosok antagonis yang tidak kosong. Jim hanyalah pria yang terjebak akan situasi dimana ia harus memilih keluarganya atau persahabatanya dengan Travis. Lengkap pula dengan akting dari Paul Anderson yang kerap memberikan ekspresi subtil nya sehingga meyakini penonton bila Jim tidak lah jauh berbeda dengan Travis.

24 Hours to Live memang bukan jenis film yang bisa memberikan kesan mendalam setelah menyaksikannya, bahkan saya saja saat melakukan tulisan ini, telah hilang sensasi menontonnya. Tetapi jika kalian ingin mengisi waktu kosong kalian dengan sajian film aksi yang bisa memberimu hiburan, 24 Hours to Live bisa menjadi pilihan yang tepat. Apalagi bila kalian menyukai Ethan Hawke seperti saya (Hawke adalah alasan utama saya untuk mencoba film ini).

7/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!