Sunday 18 March 2018

"Los Angeles. Everybody want to be star. All the pretty boys. They're lining up for the big shot"- Tommy Wiseau

Plot

Impian Greg (Dave Franco) untuk menjadi aktor besar harus terhalang akibat kekakuan nya dalam berakting. Kesulitan Greg mengeluarkan seluruh ekspresinya di atas panggung terus menerus terjadi, bahkan kala berlatih akting. Hal yang berbeda justru diperlihatkan oleh Tommy (James Franco) yang juga ikut kelas yang sama dengan Greg, dimana ia berhasil mengeluarkan seluruh ekspresi di atas panggung, walau cenderung berlebihan. Penampilan gila-gilaan dari Tommy sontak mencuri perhatian Greg, dan tidak lama setelah itu, mereka pun berteman dekat. Keduanya sama-sama memiliki impian untuk menjadi artis besar dan terkenal. Untuk mengejar impian tersebut, Tommy mengajak Greg pindah ke Los Angeles, yang tentu saja langsung diterima oleh Greg. Perjalanan mengejar mimpi mereka pun dimulai.




Review

Tidak semua aktor memiliki talenta luar biasa layaknya Marlon Brando, Robert De Niro, Al Pacino ataupun Daniel Day Lewis. Tidak juga semua sutradara selalu menelurkan karya masterpiece dan sukses layaknya Steven Spielberg, James Cameron, Martin Scorsese dan Christopher Nolan. Lalu, apakah dengah kenyataan tersebut kita berhenti untuk mengejar mimpi untuk berkarya di panggung sebesar Hollywood? Dunia Hollywood itu kejam dan keras, semua orang tahu akan kenyataan tersebut. Maka, tentu bukan sembarang orang yang berhasil berkarier begitu panjang di hingar bingar dunia tersebut.  Tidak cukup hanya mengandalkan talenta berakting ataupun faktor fisik yang menjual. Butuh dedikasi yang tinggi, pengorbanan yang tidak sedikit, serta tidak jarang faktor keberuntungan pun ikut mempengaruhi. Pertanyaannya, bagaimana jika ada orang yang minim akan bakat berakting, memiliki perawakan yang cenderung menyeramkan, namun tetap berusaha menggapai mimpinya untuk memiliki karir di dunia Hollywood?

Tommy Wiseau adalah orang tersebut, dan untuk kalian yang masih terdengar asing akan nama tersebut, saya bisa mengerti karena memang Tommy Wiseau tidak lah memiliki nama besar layaknya Tom Hanks, Johnny Depp atau Will Smith. Nama Tommy Wiseau terangkat berkat karya "one hit wonder" nya yaitu The Room, film keluaran 15 tahun lalu yang berhasil mendapatkan status cult classic dan melahirkan banyak penggemar akan film tersebut. Jika Anda juga belum pernah mendengar film tersebut apalagi menontonnya, lebih baik saya beritahu sekarang. The Room is  really, really, really, really terrible. Saking jeleknya, adegan yang diniati emosional dalam film tersebut menjadi terlihat konyol serta cringeworthy. Tapi tak disangka-sangka, film tersebut memiliki magis yang luar biasa, yang membuat para penonton terus menerus ingin membicarakannya dan mungkin juga ingin kembali menyaksikan film buruk tersebut. Dengan alasan ini lah, The Room menyandang status klasik di kategori film "it's so bad, it's so good". Mungkin tidak akan ada lagi film yang mampu menyaingi The Room dalam kategori ini. 

Setelah menyaksikan The Room untuk pertama kali, saya memiliki begitu banyak pertanyaan. Bagaimana Tommy Wiseau terpikir menciptakan film seperti ini? Bagaimana proses pembuatannya? Apa yang dipikirkan tiap aktor maupun para kru kala menjalankan proses syuting? Dan yang paling utama, Apa yang membuat Tommy Wiseau begitu pede nya dengan mendanai seluruh dana pembuatan untuk karya yang maaf saja sangat amburadul tersebut? Dari mana sumber biaya yang dimiliki Tommy Wiseau? Siapa sebenarnya Tommy Wiseau? James Franco pun mencoba memberikan jawaban nya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan mengadaptasi dari buku yang ditulis juga oleh sahabat Tommy Wiseau, Greg Sestero, yaitu "The Disaster Artist: My Life Inside the Room, The Greatest Bad Movie Ever Made", James Franco memperlihatkan bagaimana proses The Room dibuat. Namun sebelum kesana, kita diajak untuk berkenalan dulu dengan dua pihak yang paling bertanggung jawab akan lahirnya The Room, siapa lagi kalau bukan Tommy Wiseau dan Greg Sestero

Tommy dan Greg pada dasarnya tidak lah berbeda dengan para pemimpi lainnya yang mendapati jalan terjal untuk mendapatkan mimpi tersebut. Tommy dan Greg tidak memiliki bakat dalam berakting. Greg yang senantiasa kaku untuk berekspresi, dan Tommy yang selalu kesulitan menjalankan peran akibat aksen yang ia keluarkan terdengar begitu aneh. Pada akhirnya, keduanya pun menemukan jalan buntu dalam mengejar mimpi mereka. 

Dari sini lah kita diajak untuk mengenal sosok Tommy Wiseau. Kita memahami motivasi yang mendorongnya hingga akhirnya ia tergerak untuk membuat film sendiri. Tommy adalah korban dari orang yang hanya menilai dari penampilan. Tommy berpenampilan begitu eksentrik, dengan rambut panjang yang menjadi ciri khasnya, ditambah pula aksennya yang terdengar begitu asing dan aneh, kesan "villain" tentu mudah didapat dari sosok Tommy yang memang memancarkan akan kesan seperti itu. Hal itu lah yang hendak dilawan oleh Tommy dan ingin membuktikan jika ia bukanlah "villain". Dengan alasan itu pula, Tommy menolak memerankan karakter penjahat dalam suatu kesempatan. Ia ingin dunia mengenal nya sebagai sosok yang penuh kasih sayang, cinta damai, dan berharap publik tidak hanya menilainya dari penampilan. Alasan ini lah yang melatarbelakangi karakter Johhny yang ia perankan dalam film The Room.

Sentuhan yang diberikan James Franco terhadap karakter Tommy yang begitu manusiawi adalah poin unggulan dalam The Disaster Artist. Kita melihat sosok Tommy yang begitu berdedikasi tinggi untuk mendapatkan apa yang ia mau, tidak perduli berapa dana yang harus ia keluarkan. Sayang memang, tidak semua orang yang mengerti akan visi dari Tommy. Dirinya kesepian karena absennya seseorang yang mendampingi karena orang lain memandangnya hanyalah sebagai orang yang aneh dan terlalu narsis. Bahkan para kru atau artis yang bekerja dengannya tidak mempercayai Tommy, bahkan tidak menyukai Tommy. Proses syuting pun sering terhambat didasari akan keegoisan seorang Tommy. Tidak jarang ia memperlakukan para aktor maupun krunya dengan tidak manusiawi. Hal tersebut lah yang mendasari mengapa dirinya sedikit over protektive terhadap Greg. Baginya, Greg adalah teman pertamanya. Greg juga lah yang bisa mengerti akan keeksentrikan seorang Tommy. Untuk Greg sendiri, Tommy adalah sosok yang berhasil mengeluarkan segala kemampuan aktingnya. Berkat Tommy, Greg lebih mudah mendapatkan kepercayaan diri. Jalinan persahabatan ini terasa kuat berkat kesan saling mengisi satu sama lain, terlebih lagi chemistry meyakinkan dari Franco's brothers. Sebagai catatan, ini untuk pertama kalinya mereka bekerja sama dalam satu film.

James Franco kerap dikritik karena dirinya begitu fluktuatif dalam berakting. Kadang ia memberikan performa yang mengagumkan, namun tidak jarang juga ia tampil mengecewakan atau biasa-biasa saja. Namun di The Disaster Artist, James Franco memberikan penampilan terbaik nya sepanjang karirnya sebagai aktor. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk meniru seseorang hingga ke detil-detil kecil, namun James Franco melakukan hal tersebut dalam film ini. Lihatlah bagaimana ia mereplika sosok Tommy Wiseau, dari tawa canggung, berjalan, berbicara dengan aksen yang aneh, bahkan detil kecil seperti mata lusuh seperti orang lagi mabuk, semuanya terlihat begitu mirip. Bahkan ketika gambar di ambil dari belakang karakter Tommy, kita benar-benar melihat sosok Tommy Wiseau. Sebuah pekerjaan brilian yang sayangnya tidak dilirik oleh pihak Academy Awards. Sebagai sutradara pun, James Franco juga melakukan pekerjaan yang mengagumkan, dengan mengusahakan setiap adegan pada film The Room terlihat persis sama dalam The Disaster Artist. Beberapa adegan "ikonik" dalam film The Room pun ikut ditampilkan disini. Tidak hanya itu, cerita dibalik setiap adegan tersebut juga diangkat oleh James Franco, yang juga menunjukkan bagaimana peliknya para aktor dan kru untuk bekerja dengan Tommy. Tentu saja merupakan hiburan tersendiri bagi penonton saat film berakhir, penonton diperlihatkan pada sebuah momen komparasi antara The Room dan The Disaster Artist. Lihatlah bagaimana James Franco telah melakukan pekerjaan yang begitu fantastis dan total kala mengusahakan adegannya terlihat semirip mungkin sesuai dengan original nya.

Momen terbaik The Disaster Artist tentu adalah ketika The Room diputar dalam gala premiere yang diadakan oleh Tommy sendiri. Ada perasaan tak menentu yang hadir kala melihat adegan ini. Sebagai penonton yang telah menikmati The Room, kita telah tahu bagaimana hasil akhirnya, dan tentu saja, atmosfir kecanggungan (in positive way) begitu kuat terasa ketika The Room akhirnya diputar dalam layar lebar. Setiap reaksi penonton akan setiap adegan berhasil beberapa kali membuat saya tertawa. Namun, kala kamera menyorot muka Tommy, tawa itu lenyap karena perasaan miris dan ironi yang hanya saya rasakan. Kesan tersebut hadir karena sebelumnya kita telah diajak bagaimana Tommy mengorbankan semuanya demi satu film ini. Seperti apa yang ia bilang, The Room adalah hidupnya. Tidak terbayang bagaimana rasa pedih yang dirasakan Tommy saat karya nya berakhir jauh dari harapan dan bahkan menjadi bahan tertawaan semua orang. 

Sebelum The Disaster Artist hadir, mungkin bagi kita, Tommy Wiseau hanyalah sosok lelucon akibat The Room. Namun, saya yakin, paska penonton melihat karya James Franco ini, kita melihat sosok Tommy Wiseau berbeda. Dedikasi dan tekadnya patut ditiru untuk kita para pemimpi. Tommy Wiseau jelas lebih dari sekedar becandaan, karena pada akhirnya, berkat kelapang dadaan Tommy dan menerima segala olokan dari penonton maupun kritikus terhadap filmnya, The Room mendapatkan status klasik dan masih tetap diperbincangkan oleh banyak orang hingga kini. Sebuah film biografi yang luar biasa menginspirasi.

8,75/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!