Sunday, 1 March 2020



Akhirnya saya memiliki waktu untuk menyaksikan PPV kedua dari AEW (All Elite Wrestling). Dan imho, dibandingkan Full Gear, storyline menuju Revolution lebih menarik. Rivalitas personal antara Cody dan MJF yang kental akan drama, lalu tantangan Jon Moxley yang harus menghadapi sendirian demi merebut gelar juara dunia dari Chris Jericho yang ditemani oleh grup nya, The Inner Circle. Dan terakhir, keretakan persahabatan antara Adam "Hangman" Page dan The Young Bucks, memaksa Kenny Omega untuk mencari jalan keluar supaya The Elite tetap solid. Terdapat pula "sub plot" yang terjadi antara Dustin Rhodes yang ingin membalas tindakan dari Jake Hager yang telah mematahkan tangannya beberapa bulan lalu, lalu ada Darby Allin juga yang menantang Sammy Guevara (salah satu anggota The Inner Circle) dan terakhir, ada Nyla Rose yang mempertahankan gelar juara dunia wanita AEW untuk pertama kali setelah mengalahkan mantan juara, Riho, 12 Februari lalu. AEW membangun secara perlahan storyline ini dalam beberapa episode Dynamite terakhir sehingga menghasilkan episode-episode yang berkualitas. Tentu ekspektasi para penggemar meninggi setelah AEW sukses dalam membangun cerita nya, dan penggemar tidak sabar untuk melihat klimaks dari storyline yang ada.


Jake Hager vs Dustin Rhodes



Cukup mengejutkan AEW memutuskan untuk menempatkan match ini di pembuka pay per view, karena menurut saya, Sammy vs Darby mungkin menjadi pilihan yang lebih tepat. Meski match ini memiliki latar belakang cerita Dustin ingin membalas aksi Jake Hager yang mematahkan tangannya beberapa bulan lalu, tetapi narasi utama disini adalah debut dari seorang Jake Hager, yang semenjak kemunculan perdana di AEW hingga sebelum pertarungan ini berlangsung, hanya mendampingi Chris Jericho dengan anggota Inner Circle nya tanpa sekalipun pernah masuk ke dalam ring untuk bertarung secara resmi. Sudah bisa diprediksi jika Jake Hager akan meraih kemenangan, namun yang patut diapresiasi adalah sekali lagi, Dustin Rhodes membuktikan jika ia adalah pegulat veteran yang underrated. Ia memiliki kapabilitas dalam mengatur pacing pertarungan, kharisma pure babyface yang mudah mendapatkan dukungan dari penonton dan seorang storyteller yang bagus. Menit-menit akhir pada match ini merupakan bagian terbaik. Meski secara logika, Hager seharusnya bisa meraih kemenangan dengan dominan, tetapi hey, ini pro wrestling. Terlalu menggunakan logika juga tidak menjamin sebuah pertarungan akan berakhir bagus. Istri Hager, Catalina White pun sempat mencuri perhatian dengan perannya disini. Menarik dinanti apakah ia akan mengambil peranan juga di AEW kedepannya. A decent opening, ofc. 

Rating: ***

Darby Allin vs Sammy Guevara



Alasan sebab mengapa saya lebih memilih match ini sebagai pembuka karena dua talent yang terlibat memiliki gaya wrestling yang fast paced, dan benar saja, sebelum pertarungan dimulai saja, kita telah disajikan aksi brawling di luar ring yang penuh energi. Dari suicide dive Darby yang terlihat sedikit botch, dan 630 Senton Splash dari Sammy Guevara yang menakjubkan! Match nya sendiri berjalan cukup singkat, tidak menyentuh 6 menit. Tetapi tidak masalah, karena dua pegulat muda ini telah berhasil memukau para penonton. Sammy boleh saja berperan sebagai heel disini, namun rasanya ia berhasil meraih respect dari para penonton berkat penampilannya disini. Dari selling yang meyakinkan, hingga beberapa serangan yang ia lancarkan terlihat sangat memukau. Untuk Darby sendiri, singkat saja, he's one of the most over guy in AEW right now. Look at the reaction from the crowd. They absolutely love this guy.

Rating: ***1/2

AEW Tag Team Title: Kenny Omega & Adam "Hangman" Page (c) vs The Young Bucks



Well, we had arguably one of the best tag team in the world, we had arguably one of the best wrestler in this generation, and we had one of the most interesting character in AEW now. Ekspektasi jelas meninggi berkat betapa lengkap nya komponen yang terlibat untuk bisa menghasilkan match kelas tinggi, dan saya jamin, setinggi apapun ekspektasi yang Anda pasang, 4 kompetitor ini akan melampaui nya. Tidak usah ditanya lagi sajian aksi yang tersaji, berbagai move berkelas ditampilkan oleh 4 pegulat ini. Dimana Kenny Omega dan Hangman menunjukkan power serta daya tahan tubuh level atas, dan The Young Bucks yang memperlihatkan agility mereka dan mampu memberikan perlawanan hebat terhadap Kenny Omega dan Hangman. Yang saya suka dari Kenny Omega, dan salah satu alasan mengapa Kenny Omega dicap sebagai salah satu, jika bukan, wrestler terbaik di generasi sekarang adalah, setiap move yang ia lancarkan terlihat believable, sekian dari beberapa signature move nya terlihat sangat meyakinkan untuk mengakhiri pertandingan. Dibalik sajian aksi nya, 4 pegulat ini tetap menyelingi nya dengan cerita dari keretakan hubungan persahabatan antara Hangman dan The Young Bucks, meninggalkan Kenny yang bingung harus berada di posisi sebelah mana. Drama tersebut begitu mendukung untuk membuat pertarungan ini menjadi spesial. Kedua pihak memerankan karakter face, tetapi penonton di Chicago sudah kadung cinta terhadap karakter Hangman Page, sehingga Young Bucks harus rela memerankan karakter heel di malam tadi. Reaksi negatif harus mereka terima di menit-menit akhir pertarungan. Dan mengenai menit-menit akhir tersebut, oh boy, we got spoiled. Beberapa nearfalls meyakinkan dipertunjukkan, serta momen paling pecah saat Kenny Omega kicked out at 1 setelah The Young Bucks melancarkan serangan Golden Trigger ke Kenny (Golden Trigger adalah salah satu finisher yang dimiliki Kenny dan rekan tag team nya yang lain, Kota Ibushi). Saya tidak ingin menjelaskan terlalu panjang. Jika Anda adalah penggemar pro wrestling atau lebih tepatnya AEW, match ini sangat wajib Anda tonton. 

Rating: *****

AEW Women's Championship: Nyla Rose (c) vs Kris Statlander


Saya cukup merasa bersimpati terhadap dua pegulat wanita ini. Jelas tugas mereka sangat berat ketika harus tampil setelah tag team match yang berjalan luar biasa sebelumnya yang begitu menguras tenaga para penonton. Dan bisa ditebak, hampir selama pertarungan berlangsung, atmosfir terasa hening sekali dan tidak terlalu terasa bila ini adalah pertarungan merebutkan sabuk juara. Bukan salah Nyla atau Kris Statlander. Mereka berdua telah berusaha keras untuk membuat penonton perduli terhadap pertarungan mereka. Sayangnya, keduanya atau seluruh roster pegulat wanita di AEW belum memiliki kharisma dan karakter yang kuat untuk membuat penonton perduli terhadap mereka. Ini adalah salah satu kritikan terbesar kepada AEW karena sejauh ini, belum ada storyline yang terbentuk untuk para pegulat wanita nya. Not a bad match, but of course, for a title match, this was felt underwhelming.

Rating: **1/2

Cody (w/ Arn Anderson) vs MJF (w/ Wardlow)



Seperti yang Jim Ross nyatakan, ini adalah pertarungan paling personal yang tersaji di Revolution. Storyline antara Cody dan MJF sendiri bisa dikatakan sebagai storyline terbaik yang saat ini tengah berlangsung di dunia wrestling. I'll admit, bila pertarungan ini tidak dibarengi dengan latar belakang cerita tersebut, match ini tidak akan berjalan dengan spesial. Namun, dengan adanya pertarungan ini, kembali membuktikan jika storyline adalah salah satu elemen terpenting dalam dunia pro wrestling. Cody harus melakukan jalan neraka untuk bisa mendapatkan pertarungannya melawan MJF, mantan murid nya yang ia rekrut untuk bergabung dengan AEW. Cody harus menerima 3 syarat yang diajukan oleh MJF, dari yang tidak boleh menyentuh MJF sedikitpun, 10 lashes yang harus dijalani Cody, serta wajib menghadapi Mr. Mayhem, Wardlow, dalam pertarungan steel cage match. Dengan semua perjuangan Cody untuk (hanya) bisa menghadapi MJF dalam pertarungan resmi, rasanya mustahil untuk tidak mendukung Cody, sehingga menjadikan Cody adalah satu dari sedikit pure babyface yang mendapatkan support penuh dari penonton. Saya sendiri sempat melontarkan joke dalam komentar di video AEW bila Cody tidak meraih kemenangan atas MJF dalam pertarungan ini, saya akan berhenti mengikuti AEW. Tentu saja ini hanya candaan saja karena tentu tidak mungkin saya benar-benar berhenti menyaksikan AEW begitu saja. Tetapi saya memang ingin Cody yang menang disini. Entah sejak kapan terakhir kali emosi saya ikut terbawa di dunia pro wrestling. Pertarungan keduanya sedikit berjalan lamban, dimana Cody dan MJF masing-masing menjalankan karakter nya. Hats off untuk MJF yang begitu sempurna menjadi heel yang layak untuk kita benci. Sebagai penonton, kita sangat mengharapkan Cody benar-benar menghajar MJF dalam pertarungan ini. Dan mungkin dengan alasan itu juga lah, perlu ditambahkan kejadian momen "kepala pecah" dari MJF untuk menghilangkan rasa haus dari penonton. Sedikit overbooking akibat beberapa momen yang melibatkan karakter tambahan dari Arn Anderson, Brandi dan Wardlow, namun pertarungan ini tetap tidak pernah kehilangan fokus. Cody hampir saja meraih kemenangan, namun MJF menemukan jalan dari keadaan terdesak dengan menggunakan diamond ring miliknya yang ia dapatkan hasil kemenangan Battle Royale di salah satu episode Dynamite beberapa bulan lalu. Sekali lagi, match ini adalah salah satu contoh dimana storyline yang ada berpengaruh besar dalam menginjeksi kualitas match yang ada.

Rating: ***3/4 (4 bintang Andaikan Cody yang meraih kemenangan)


PAC vs Orange Cassidy


"being accompanied by Best Friends. From...wherever, weight....whatever...Freshly Squeezed, Orange Cassidy!"

Bila PAC vs Orange Cassidy adalah pertarungan komedi, maka pertarungan ini layaknya fim komedi berkualitas layaknya Shaun of the Sheep. Mustahil rasanya untuk tidak terhibur menyaksikan dua pegulat yang memiliki karakteristik berbeda ini. Bila PAC adalah pegulat "serius" egomaniak dan tanpa ampun, berbanding terbalik dengan Orange Cassidy yang memiliki karakter pemalas, kental dengan komedi nya. Sekali lagi PAC membuktikan jika ia adalah salah satu pegulat terbaik, dengan berhasil menjalani pertarungan dengan jenis apapun. Orange Cassidy pun menghadirkan performa yang sangat menghibur, dengan kelakuan tengil serta tingkah nya yang mengundang tawa, serta tetap melancarkan beberapa serangan yang berhasil membuat penonton bersorak. Dibantu dengan atmosfir luar biasa dari penonton karena mereka sangat menyukai Cassidy dan membenci PAC, seharusnya PAC vs Orange Cassidy disajikan setelah tag team match sebelumnya. What a entertaining match.

Rating: ***1/2


AEW World Championship: Chris Jericho (c) vs Jon Moxley


Chris Jericho adalah salah satu sosok yang paling dihormati dalam dunia pro wrestling berkat dedikasi dan pengaruhnya. Fans pro wrestling menaruh respect besar terhadapnya. Hell, mereka bahkan menyanyikan bersama dari lagu entrance Chris Jericho, Judas milik band Jericho, Fozzy. Akan tetapi, pendukung AEW masih mendukung penuh Jon Moxley untuk mengalahkan Jericho dan merebut sabuk juara AEW. That's how over Moxley is. Setelah harus menderita dengan booking omong kosong dari WWE, Moxley akhirnya menemukan tempat yang tepat untuknya di AEW. Dengan karakter badass, zero f's given, Moxley berhasil merebut hati penggemar AEW. Jelas merupakan keputusan tepat jika akhirnya Moxley menjadi the no.1 contender menantang Le champion. Untuk merebut titel yang digenggam Jericho, Moxley tidak hanya harus berhadapan dengan Jericho, namun ia juga harus berurusan dengan seluruh anggota The Inner Circle. Dalam durasi 20 menit lebih, Jericho dan Moxley tidak langsung tancap gas. Gaya pendekatan slow burn mereka pilih sebelum nantinya aspek drama diselipkan dengan melibatkan tiap anggota The Inner Circle mencoba segala cara untuk membantu Jericho untuk mengalahkan Moxley. Moxley pun akhirnya berhasil merebut titel juara dunia dari Jericho melalui finisher Moxley, The Paradigm Shift. Pilihan tepat pula dimana Jericho kalah tanpa sekalipun berhasil melancarakan The Judas Effect, finisher terbaru miliknya. Sebuah penutup yang manis untuk Revolution.

Rating: ****


Overview:

AEW kembali melanjutkan tren positifnya. Setelah beberapa episode Dynamite terakhir begitu menghibur, AEW juga sukses menghasilkan sebuah pay per view yang wajib ditonton. Satu kritikan tentu saja adalah divisi pegulat wanita harus secepatnya memiliki storyline yang berarti, atau at least para pegulat wanita nya memiliki karakter yang mapan untuk mendukung setiap match yang nantinya dilakukan. Praktis, hanya Britt Baker dan Nyla Rose yang saat ini terlihat menonjol jika dilihat dalam aspek karakter, dan sayangnya keduanya adalah karakter heel. Karakter face seperti Kris Statlander, Hikaru Shida, atau Big Swole, belum memiliki hal tersebut. Saya yakin, jika saja AEW mau memberikan fokus nya kepada divisi wanita, maka semakin sempurna lah kualitas yang dimiliki AEW. 

Pertarungan tag team title tidak perlu dipertanyakan lagi, merupakan match of the night, hell, that match easily become match of the year contender. Match lainnya pun tidak kalah menghibur, terutama PAC vs Orange Cassidy yang jauh melampaui ekspektasi saya. Semoga AEW terus mempertahankan tren positif ini, karena menarik ditunggu, storyline apa lagi yang akan mereka angkat untuk pay per view selanjutnya.

AEW Revolution: 8,5/10

Sunday, 9 February 2020

"This is me, all right? I'm not a fuckin' athlete. This is MY fuckin' way. This is how I win. All right?"

Plot

Memiliki usaha berlian sendiri, tidak membuat kehidupan seorang Howard Ratner (Adam Sandler) jauh dari kesulitan. Ia terbelit hutang dengan saudara ipar nya sendiri, Arno (Eric Bogosian) sebesar $ 100 ribu. Perihal tersebut semakin pelik kala Arno menyewa kolektor berperangai kasar, Phil (Keith Williams) dan Nico (Tommy Kominik) yang akan berbuat apapun demi mendapatkan uang pembayar hutang dari Howard. Howard bukannya tanpa usaha, dimana ia berharap berlian opal temuannya dari negara Ethiopia mampu terjual di harga kisaran $ 1 juta pada acara suatu lelang. Namun, niat Howard tersebut pun harus berbentur pula dengan keinginan atlit bintang bola basket dari Boston Celtic, Kevin Garnett (diperankan oleh Kevin Garnett yang asli) untuk membeli opal tersebut. Polemik Howard semakin dilengkapi dengan kehidupan keluarga nya yang sedang tidak baik-baik saja. Howard harus berpisah dengan istrinya, Dinah Ratner (Idina Menzel) yang menggugat cerai Howard akibat perselingkuhan Howard dengan Julia (Julia Fox) yang juga merupakan karyawan di toko berlian Howard.




Plot

Berdasarkan sinopsis yang saya tulis di atas, Anda mampu sedikit menangkap seperti apa film yang sudah tersedia di Netflix ini. Uncut Gems mengisahkan usaha dari suatu karakter untuk menyelesaikan masalah yang sedang menghimpit nya. Pergerakan narasi hampir semuanya berpusat pada Howard, sehingga layar akan didominasi oleh sosok nya. Berita buruk jika Anda merupakan haters dari Adam Sandler. Lagian jika Anda merupakan haters, ngapain juga untuk ikutan menyaksikan film ini. Anyway, duo Safdie (Benny-Josh) enggan untuk membagi permasalahan demi permasalahan Howard layaknya pembagian chapter dan lebih memilih untuk langsung menggabungkannya di setiap pergerakan narasi. Dibantu dengan pergerakan kamera yang cukup dinamis, lahir lah sebuah ketidak nyamanan akan sesak nafas akibat dari setiap keributan yang hadir di layar. Seriusan, hampir tiap menit dalam Uncut Gems itu kita harus melihat setidaknya satu karakter harus berteriak dalam pengucapan dialog, terutama tentu saja si Howard. Kalau bisa saya ingin kasih Adam Sandler seteguk gelas air minum untuk sekedar istirahat sebentar dari teriakan-teriakannya. Kalau Anda cukup teliti, Anda bisa menangkap jika suara Adam Sandler sendiri terdengar serak di beberapa adegan.

Uncut Gems memiliki dasar cerita sederhana memang, namun penyuntingan dari Safdie Brothers yang benar-benar menjadi pembeda. Berkat penyutradaraan mereka, adegan pintu tidak bisa dibuka saja tersaji dengan sangat intens, melebihi adegan dari film thriller di tahun yang sama. Itu hanya satu contoh saja, karena Uncut Gems dipenuhi dengan adegan serupa. Dan percaya atau tidak, Uncut Gems adalah film pertama keluaran dari A24 yang pergerakan narasi nya begitu cepat seperti ini yang saya tonton. Biasanya, film-film dari A24, seperti yang kita ketahui, pergerakan nya cukup lambat layaknya film indie atau film festival. Dengan fakta ini bagi saya memberikan kejutan menyenangkan juga. Membuktikan bila A24 juga mampu memproduksi film semacam ini. Percayalah, Uncut Gems akan memberikan sebuah sajian drama roller coaster yang berlaju kencang seolah tiada akhir. Masih ada beberapa momen "mengambil nafas" atau boleh saya sebut sebagai check point, sebelum nanti kita kembali ditempatkan pada sirkuit laju yang kencang. Yang lebih parah, kebanyakan momen intens dalam film ini bersettingkan di tempat yang sempit, seperti di dalam mobil dan toko kecil milik Howard. Tidak heran jika para pengidap claustrophobia akan tidak nyaman saat sedang menonton film ini.

Balik lagi ke cerita, poin dari Uncut Gems adalah untuk mengajak kita bagaimana seorang pria berusaha untuk memperbaiki semua masalah nya yang ada. Yang bikin gregetan adalah cara yang diambil oleh Howard untuk keluar dari permasalahannya. Bagaimana tidak gregetan jika ia masih saja mau mengambil risiko baru lagi sesaat setelah pintu cahaya untuk menuju jalan keluar hadir di depan matamya. Naskah yang mereka kerjakan bersama Ronald Bronstein ini ingin memperlihatkan jika kerakusan hanya akan menghadirkan persoalan yang baru lagi. Dan siapa tahu, jika Howard mungkin tidak akan bisa lari dari permasalahannya, tidak perduli seberapapun keras nya perjuangan yang telah ia lakukan. 

Harusnya dengan penggambaran karakter seperti ini, karakterisasi Howard berpotensi menjadi protagonist yang unlikeable. Namun fakta di lapangan justru sebaliknya. Memang, Howard jauh dari kata orang yang baik. Ia berselingkuh, hobi berjudi, pembual dan kasar, namun ia tetap adalah seorang family man yang mau berusaha sebaik mungkin untuk perduli dengan keluarganya, terutama anak-anaknya. Kita boleh menyayangkan setiap keputusannya, namun tidak berarti penonton bisa dengan mudah membenci nya. Untuk saya, selalu ada harapan jika usaha Howard setidaknya ada satu saja yang membuahkan hasil, setelah Howard senantiasa diterpa oleh konflik beruntun dalam hidup nya. Faktor akting Adam Sandler sendiri juga ikut berperan untuk penonton mudah mendukungnya. 

Sandler berhasil menggambarkan kecemasan dalam diri Howard, baik melalui amarah bahkan ketika menyetir mobil dalam diam sekalipun. Secara perlahan juga tersirat gambaran putus asa melalui ekspresinya, hingga nanti pada puncaknya tangisan pun akhirnya keluar dari Howard. Susah rasanya untuk tidak merasa kasihan saat dirinya tengah berada di posisi terpuruk seperti itu. Sandler kembali membuktikan jika ia merupakan aktor bertalenta. Meski saya juga kurang sependapat jika ini adalah penampilan yang groundbreaking karena menurut saya, kita memuji akting Sandler disini tidak terlepas juga akibat penampilan-penampilan buruk dari Sandler sebelumnya. 

Tidak hanya Sandler, penampilan dari supporting cast pun tidak boleh diremehkan. Julia Fox yang menjalani debut nya disini, tidak berakhir hanya menjadi eye candy saja berkat penampilan menawannya. Juga yang menjadi scene stealer adalah Keith Williams sebagai Phil, bodyguard kasar yang senantiasa memberikan teriakan-teriakan intimidatif untuk menakuti Howard. Kevin Garnett pun tidak mengecewakan dalam menjalani debutnya. 

8/10

Thursday, 30 January 2020



"I hoped today might be a good day. Hope is a dangerous thing."- Colonal Mackenzie

Plot

Lance Corporal Blake (Dean-Charles Hapman) dan Lance Corporal Schofield (George MacKay) ditugaskan Jenderal Erinmore (Colin Firth) untuk menyampaikan pesan pada Devonshire Regiment. Pesan tersebut adalah perintah untuk membatalkan penyerbuan terhadap pasukan Jerman yang diyakini telah meninggalkan wilayah perang. Namun berdasarkan pernyataan Jend. Erinmore, justru pasukan Jerman telah membangun strategi jebakan untuk menyerang balik pasukan Inggris. Blake dan Schofield harus berhasil menyampaikan pesan tersebut sebelum penyerangan dilakukan, atau 1.600 tentara Inggris harus kehilangan nyawa. Dan sial bagi Blake, karena satu dari 1.600 tentara tersebut terdapat saudara kandung Blake. 




Review

Saya tidak bisa memungkiri bila alasan utama saya begitu bersemangat hingga sampai meminjam uang teman supaya bisa menyaksikan film garapan Sam Mendez ini disebabkan 1917 adalah film yang digaung-gaungkan akan berhasil menyabet piala Oscar di kategori Best Picture. Hal ini disebabkan berbagai pujian yang didapatkan film ini, terutama dari segi teknis pengambilan gambar dari sinematografer Roger Deakins yang luar biasa. Desas desus ini tentu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat saya tidak sabar ingin menyaksikan 1917 di layar raksasa bioskop supaya bisa menikmati secara maksimal sentuhan masterpiece dari Deakins. 

Dewasa ini, para sutradara Hollywood mulai mengangkat kisah-kisah yang mungkin terlupakan untuk diangkat ke dalam film bergenre perang. Seperti Hacksaw Ridge yang memfokuskan sosok pemuda yang bergabung dalam tentara Amerika sebagai tenaga medis, narasi dalam 1917 sepenuhnya mengambil cerita dari sudut pandang dua tentara pembawa pesan, the messengers. Terlupakan karena sebab sejarah sering kali lebih mengangkat kisah-kisah perjuangan heroik dari individu yang terlibat langsung di medan perang. Bahkan kisah seperti pembawa pesan pun sama sekali tidak saya temukan di buku-buku sejarah yang pernah saya pelajari ketika masih duduk di bangku sekolah. Padalah, sekecil apapun peran yang diemban, tentu memiliki esensi tersendiri yang juga mempertaruhkan nyawa mereka, terutama kala perang masih bergejolak. 

Blake dan Schofield pun harus rela menempuh jarak yang cukup jauh demi menghantarkan pesan. Tidak hanya berpacu dengan waktu, mereka berdua juga harus menapaki medan-medan yang sulit, seperti wilayah no man's land yang dipenuhi dengan dataran yang tidak rata akibat pertempuran yang sebelumnya terjadi, mayat-mayat bergelimpangan yang tidak sedikit telah bergabung dengan isi dalam bumi serta pagar kawat rusak yang harus memaksa mereka untuk lebih teliti dalam melangkah jika tidak ingin terkena kawat tersebut. Memasuki wilayah kawasan musuh, Blake dan Schofield juga melakukan perjudian apakah tempat tersebut memang telah ditelantarkan seperti apa yang diyakini oleh Jenderal mereka atau tanpa mereka ketahui, pasukan Jerman tengah menaruh rencana jebakan lainnya juga. 

Karena inilah pendekatan pengambilan gambar long take dimana kamera senantiasa tidak pernah putus dalam mengikuti petualangan Blake dan Schofield semenjak detik pertama, bahkan ketika mereka belum memulai perjalanan panjang dan melelahkan mereka. Dengan pendekatan ini, penonton diajak secara tidak langsung untuk menjadi pihak ketiga untuk menyaksikan dalam bisu kisah Blake dan Schofield. Rasa khawatir dan cemas akibat minim informasi melahirkan ketegangan tak menyenangkan setiap kita mengikuti kedua prajurit ini memasuki wilayah yang baru. Ambil contoh di adegan bawah tanah markas Jerman yang memiliki satu momen shocking kelas wahid. Dengan long take nya ini juga penonton diajak untuk menyaksikan kehidupan perang kala itu. Di saat Blake dan Schofield berjalan menyusuri parit perlindungan yang sempit, terdapat beberapa tentara lainnya yang tengah mengisi waktu luang mereka. Ada yang bersantai sambil merokok, tertidur, bahkan ada yang tengah dirawat lukanya. Pemandangan ini entah kenapa memberikan atmosfir horor tersendiri untuk saya. Terasa tidak ada sekat pemisah dan apa yang tengah saya saksikan bukan lah dari layar, namun sedang saya lihat secara langsung. Pengalaman menonton 1917 ini bagaikan kita seperti bermain video game, bedanya kita tidak memiliki kendali sepenuhnya. Hanya bisa diam, memperhatikan, dan ketika dua karakter mendatangi medan yang asing, kita hanya bisa was was, mengantisipasi serangan yang bisa datang kapan saja.

Selain "mengundang" penonton untuk terlibat langsung ke zona perang berkat long take nya, pendekatan seperti ini juga memberikan efek luar biasa ketika film memasuki adegan berintensitas tinggi. Admit it, bila Mendez lebih memilih pengambilan gambar ala konvensional, 1917 jatuhnya tidak akan menjadi sajian sinematik yang spesial, karena setiap adegan memacu adrenalin di sini sebenarnya tidak lah terlalu memiliki gebrakan baru. Namun karena dengan long take nya, setiap adegan tersebut berhasil menambah efek ketegangan berkali-lipat sehingga berhasil meninggalkan kesan spesial. Puncaknya di adegan aksi terakhir kala salah satu karakter berlari kencang di tengah letusan perang, berusaha untuk menemui satu tokoh. Susah untuk menggambarkan kekaguman saya atas apa yang telah saya saksikan. Entah butuh berapa lama latihan koreografi demi menciptakan momen luar biasa tersebut. Musik latar dari Thomas Newman ikut pula mengambil andil untuk membantu mood yang tersaji di layar baik kala film tengah membangun ketegangan, atau ketika momen dramatik nya yang kental mengandung sebuah harapan.

Saya rasa tidak perlu lagi untuk menjelaskan betapa menakjubkannya pekerjaan yang dilakukan oleh Roger Deakins. Hasil kerja nya disini saya rasa berhasil untuk membuat Emmanuel Lubezki merasa iri. Long take yang dilakukan Deakins benar-benar terlihat mulus sehingga saya cukup kesulitan untuk menebak kapan Deakins melakukan pemotongan gambar. Durasi satu jam penuh, gambar seolah terlihat tidak ada pemotongan, bahkan di lokasi-lokasi tersulit sekalipun. Pekerjaan teknikal seperti ini yang selalu berhasil memaksa saya untuk ingin menantikan proses di belakang layar sebuah film. Serius, kehebatan Deakins rasanya tidak cukup untuk digambarkan lewat kata-kata, karena Anda wajib untuk menyaksikannya secara langsung. 

Pertanyaannya, apakah penyutradaraan Mendez terlihat kering bila disandingkan dengan hasil kerja Deakins? Bisa iya, apabila Anda tidak terlalu menangkap terlalu detil atas totalitas yang dilakukan Mendez untuk menghidupkan atmosfir betapa mengerikannya dunia perang. Pembangunan atmosfir ini bisa melalui mayat bergelimpangan, bahkan hingga ke ternak seperti kuda, lalu dataran yang hancur akibat menjadi panggung pertempuran, dan yang terbaik ketika setting terjadi di desa Ecoust, salah satu desa yang menjadi korban serangan dari Jerman. Api yang menyelimuti salah satu bangunan tidak hanya berfungsi untuk menjadi pelita raksasa bagi karakter maupun penonton, namun juga menciptakan imajinasi menyeramkan dalam penonton serta ancaman karena karakter kita tengah memasuki area yang dikuasai oleh Jerman. Mendez melakukan pekerjaan memuaskan tersebut walau tanpa bantuan grafis kekerasan atau pamer bergalon-galon darah. 

1917 memang terlihat luar biasa dan spesial jika dilihat dari aspek teknikal, kecuali pada departemen naskah hasil tulisan dari Sam Mendez dan Krysty Wilson-Cairns. 1917 mampu menyita perhatian mu sepenuhnya kala film menunjukkan momen dramatis atau yang menegangkan, tetapi apabila momen tersebut absen di layar, penonton mungkin tidak akan terlalu memperhatikan apa yang terjadi karena baris dialog yang terlontar kurang karismatik untuk tetap menjaga atensi penonton. Namun cerita nya juga tidak kosong juga, karena terdapat character development secara subtil pada satu karakter. 

Kredit lebih juga harus diberikan pada dua pemeran utama, Dean Charles-Chapman dan George MacKay. Sempat khawatir jika 1917 tidak menghadirkan sebuah performa akting yang memikat, namun faktanya, kedua aktor ini berhasil memberikan pendekatan nyata dalam bentuk kelelahan seperti deruan nafas yang terengah-engah, kemudian rasa takut saat musuh mulai menangkap posisi mereka. Tidak sampai ke taraf yang spesial memang, tetapi patut diapresiasi. Terlebih dengan pendekatan long take seperti ini, konsistensi akting maksimal tentu menjadi tuntutan utama. 

8,5/10



Wednesday, 29 January 2020


"Just 'cause millions of people aren't cheering when you do it, it doesn't mean it's not important"- Saraya

Plot 

Lahir dalam keluarga yang lekat dengan dunia gulat, Saraya (Florence Pugh) dan Zak (Jack Lowden) membantu promosi gulat independen kecil milik kedua orang tua mereka, Ricky (Nick Frost) dan Julia (Lena Headey) yang bernama World Association of Wrestling (WAW). Bersama Saraya, Zack juga ikut melatih anak-anak muda untuk bergulat di promosi tersebut, sembari tetap mengadakan event kecil-kecilan untuk menghasilkan uang. Keduanya ingin menggapai mimpi mereka untuk bisa tampil di event gulat terbesar di dunia, WWE (World Wrestling Entertainment). Rekaman bergulat Zak dan Saraya dikirimkan ke WWE, dan kesempatan tersebut datang ketika Hutch Morgan (Vince Vaughn), trainer yang bekerja untuk WWE, memanggil Zak dan Saraya untuk berpartisipasi di try out pada episode Smackdown di London.




Review

Dengan deretan film-film yang selama ini telah WWE produksi, setidaknya film seperti The Scorpion King dan Rundown yang cukup menghasilkan kesuksesan. Selebihnya, kebanyakan film-film tersebut harus dirilis langsung ke dalam bentuk DVD atau straight to video, bukti bila kebanyakan atau hampir semua film rilisan WWE berakhir dengan mengenaskan, entah itu karena pendapatan yang tidak balik modal atau ulasan "kejam" para kritikus yang bahkan mungkin malas untuk mereview film-film ini. Kendalanya adalah selama ini, WWE studios selalu memilih mengedepankan genre aksi yang disuntikkan kepada film-film mereka. Film seperti The Marines (yang gak tahu kenapa bisa sampai hingga sekuel ke 6), 12 Round, atau Vendetta, jelas sekali jika WWE Studios begitu mencintai film aksi. Hingga membuat mereka lupa jika sebenarnya ada kisah yang bisa lebih dieksplorasi pada perjalanan setiap wrestler yang mereka miliki. Diproduksi oleh legenda hidup dari WWE, Dwayne "The Rock" Johsnon, Fighting With My Family menceritakan perjalanan karir Saraya Knight, atau yang lebih populer kita kenali sebagai Paige, dalam meraih kesuksesan di dunia gulat bersama WWE dan nantinya berhasil menjadi salah satu pegulat wanita berpengaruh dalam memantik api membara dunia gulat wanita. 

Fighting With My Family mungkin formulaic. Ya, film ini bisa dibilang tidak terlalu mengambil langkah revolusioner dalam menceritakan kisah biografi nya. Ini bukan lah sajian biografi berani layaknya Straight Outta Compton, tetapi sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Stephen Merchant mengambil approach yang bijak dalam menggulirkan narasi nya. Merchant tampaknya meyakini jika Saraya/Paige akan berhasil menjadi top divas di WWE sudah diketahui atau bahkan ditebak oleh penonton kasual yang tidak mengikuti WWE. Ya film biografi mana yang pada akhir cerita nya tidak menampilkan momen klimaks atau keberhasilan tokoh yang diangkat? Maka dari itu, narasi nya benar-benar didominasi oleh perjuangan Saraya untuk bisa bertahan ketika harus berlatih fisik maupun mental di pengembangan karir yang dinamai NXT, dan yang pasti sesuai judulnya, konflik yang dialami Saraya dengan keluarganya, terutama dengan Zak. Justru untuk saya, kepingan-kepingan story arc milik Zak lah yang berhasil muncul menjadi pembeda di bagian narasi.

Dunia gulat memang tidak untuk semua orang, terutama di Indonesia. Walau sempat booming di periode awal 2000an, sajian wrestling cukup menjadi hal tabu ketika media di Indonesia menggembar-gemborkan korban-korban yang jatuh akibat mempraktekkan aksi-aksi gulat sehingga penayangan WWE (kala itu masih WWF) dihentikan sama sekali di tayangan televisi swasta. Wrestling gear para pegulat sendiri yang begitu menampilkan aurat juga sangat tidak cocok untuk Indonesia yang masih mengedepankan agama. Kondisi ini sih yang membuat saya secara sembunyi-sembunyi untuk mengikuti perkembangan dunia wrestling, apalagi kalau menonton pertarungan para pegulat wanita, udah deh, harus pintar-pintar mencari waktu dan kondisi. Ibarat kata, ketahuan menonton wrestling match sudah bisa disandingkan aib nya dengan menonton blue film.

Namun kecintaan saya yang telah tertanam di masa kecil susah untuk dihilangkan, tentu saja. Kenangan kala saya bermain gulat dengan dua kakak saya setelah menyaksikan Smackdown yang kala itu masih ditayangkan di R*TI terus terpatri di ingatan. Masih begitu lekat di ingatan ketika saya kecewa berat ketika The Rock gagal mengalahkan Triple H di event Judgement Day setelah berhasil comeback dalam pertarungan Iron Match nya. Mungkin dengan fakta ini lah, ikatan emosi telah terhubung dengan Zak dan Saraya kala di opening nya, kita menyaksikan Zak bersorak kala melihat wrestler idola nya meraih kemenangan, dan segera mempraktikkan salah satu move ke adiknya, Saraya.

Dengan berbagai momen sekilas, kita diajak Merchant untuk lebih mengenal keluarga Knight dalam mengelola bisnis gulat independen kecil milik mereka. Dari Zak yang menjadi pelatih untuk para pemuda berusia tanggung di kota Norwich, bahkan satu dari murid nya ada yang mengalami disabilitas, lalu Saraya, yang ternyata diambil dari nama panggung milik ibu nya kala berkarir di dunia gulat, juga ikut membantu Zak sebagai sparring partner baik ketika latihan atau di pertandingan resmi kecil-kecilan. Lalu tentunya ada Ricky dan Julia yang senantiasa membantu mereka berdua. Tidak ketinggalan Merchant membangun bumbu-bumbu konflik nya, seperti Saraya yang sempat dicemooh akibat penampilannya yang jauh dari kata feminim, Zak yang menanti kehadiran buah hati bersama pacarnya, Courtney (Hannah Rae) dan kesulitan finansial yang dialami keluarga Knight. Pembangunan konflik nya terasa straight to the point karena nanti kala film menginjak ke pertengahan durasi, semuanya menyatu dan memiliki pengaruh kala Fighting With My Family mulai menyentuh pada konflik utama nya, yaitu fakta dimana Zak harus menerima kenyataan jika ia tidak berhasil memenuhi kriteria standar yang dibutuhkan WWE. Dan lebih pahit nya lagi, adiknya sendiri ternyata merupakan satu-satunya kontestan yang direkrut oleh Hutch Morgan untuk bergabung dengan WWE dan mengikuti proses pengembangan bakat di NXT.

Bayangkan jika Anda di posisi Zak. Sebagai individu yang memiliki passion yang besar untuk dunia gulat, berlatih dari kecil hingga dewasa untuk meraih mimpi dan berharap akan tiba momen ribuan penonton menyerukan nama panggung Anda, harus menelan pil pahit kehidupan kala fakta tidak beriringan dengan harapan dan keinginan. Kesempatan satu kali seumur hidup gagal tercapai, ditambah harus menyaksikan adik nya sendiri yang tak disangka-sangka berhasil meraih kesempatan tersebut. Hal ini yang membuat Zak menjadi sympathetic character utama dalam kisah ini dan berhasil menjadi poin positif besar, setidaknya untuk saya. Walau cerita memang berfokus pada perjuangan kisah Saraya/Paige, namun saya senantiasa tidak sabar untuk melihat keadaan Zak. Ada rasa kekhawatiran jika ia akan mengambil langkah yang salah akibat kekecewaan yang mendalam dan menelantarkan keluarga nya, terutama Courtney dan anak nya yang baru lahir. Terlebih keluarga Knight sendiri mempunyai sejarah dengan dunia kriminal.

Untuk yang mengikuti dunia wrestling, pasti bisa memahami jika industri ini sangat lah kejam. Tidak semua orang bisa menjadi main event superstar. Kemampuan, bakat dan kerja keras tidak cukup, harus ada faktor X supaya seseorang berhasil menjadi seorang pegulat papan atas, terutama untuk perusahaan raksasa WWE. Banyak pegulat yang berbakat, namun tidak semuanya yang memiliki faktor X tersebut. Sang owner, Vince McMahon menyebutnya "brass ring", dan sekali lagi, tidak semua superstar yang memiliki itu. Bahkan top face dalam sejarah WWE seperti Stone Cold, The Rock hingga John Cena sebenarnya tidak lah memiliki skill bintang 5 jika berbicara pada aspek bergulat nya saja, namun nama-nama tersebut, di mata Vince McMahon, memiliki faktor X itu sehingga berhasil menjadi ikon dalam WWE. Hingga sekarang, WWE pun masih berusaha untuk mencari suksesor John Cena untuk menjadi top face besar layaknya dia. Naskah Merchant cukup berhasil menyinggung hal ini. Zak mungkin lebih memiliki teknik gulat lebih baik dibanding Saraya, namun bagi Hutch, Zak tidak memiliki faktor X yang bisa menghantarkannya menjadi bintang.

Berbanding terbalik dengan Saraya. Meskipun teknik nya biasa-biasa saja, tetapi Hutch melihat ada sesuatu dalam diri Saraya, yang membuatnya jauh lebih unik dibandingkan superstar wanita milik WWE lainnya. Sudah menjadi rahasia umum jika sebelum women's revolution dalam WWE, kebanyakan pegulat wanita milik WWE direkrut dari model yang diajarkan teknik-teknik bergulat, yang berfungsi untuk menjadi eye candy para penonton pria dewasa. Dari Sable, Torrie Wilson, Stacy Kiebler, divisi wanita didominasi dengan pegulat wanita yang pirang dan berbodi seksi. Bahkan living legend seperti Trish Stratus saja pada awal nya berkaris sebagai manajer seksi, sebelum akhirnya memiliki teknik wrestling yang memadai dan mendapatkan respect dari WWE Universe (sebutan WWE untuk para penggemar). Saraya berbeda karena dibanding wanita lainnya, teknik nya sudah di atas rata-rata karena telah berkarir di dalam dunia gulat semenjak dini. Mungkin karena ini lah, Hutch memilih Saraya tanpa ragu-ragu, karena ia meyakini, Saraya memiliki kapabilitas untuk menghadirkan sebuah gebrakan yang baru.

Konflik ini lah yang mengakibatkan kerenggangan akan hubungan antara Zak dan Saraya. Dari awal yang selalu berlatih bersama, mendadak hubungan antar keduanya mendingin. Terlebih Saraya harus berangkat ke negeri Amerika untuk mendapatkan pelatihan di developmental territory, NXT. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi mental keduanya. Zak kehilangan semangat untuk melatih anak didiknya di WAW karena terlalu berfokus untuk kembali mendapatkan kesempatan untuk try out untuk WWE. Sedangkan Saraya yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan teman-teman wanita nya di NXT yang kebanyakan mantan model, justru mendapatkan kesulitan akibat kehilangan daya juang. Bahkan ia tidak sengaja mempermalukan dirinya sendiri ketika ia sadar jika orang yang selama ini ia remehkan, justru memiliki fighting spirit jauh lebih besar ketimbang dirinya. Secara terpisah, keduanya berperang terhadap diri sendiri. Zak dengan rasa iri dan cemburunya, dan Saraya yang merasa tidak enakan dengan saudara nya tersebut. Hingga pada di suatu titik, keduanya bertemu kembali di dalam ring, yang awalnya mereka dipertemukan untuk menjalani rutinitas acara wrestling untuk WAW pada umumnya, menjadi panggung puncak atas drama konflik yang terjadi antara keduanya.

Mungkin adegan yang terjadi di ring tersebut tidak lah terlalu melahirkan sebuah ironi yang luar biasa, namun sudah cukup untuk membuat saya sebagai penonton menyayangkan atas situasi yang terjadi. Semua ini tentu saja berkat pondasi naskah yang solid nan kokoh dari Merchant. Kita dibuat perduli akan hubungan persaudaraan mereka, dan kita pun bingung untuk mendukung siapa karena keduanya memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Yang lebih menarik bagi saya justru adu mulut yang terjadi antara Zak dan Saraya setelah turun dari ring. Kalimat dari Saraya begitu mengena untuk saya, bahwa kita telah memiliki peran ideal masing-masing. Mungkin peran tersebut tidak mendapatkan perhatian banyak orang, namun tidak melunturkan betapa penting nya peran tersebut. Tanpa Zak sadari jika ia sebenarnya secara tidak langsung telah memberikan sebuah harapan untuk anak didiknya yang mungkin saja bisa terjun ke dunia kriminalitas bila tanpa bimbingannya. Jujur saja,momen ini berhasil menyentil saya

Cukup disayangkan karena perseteruan batin antara keduanya tidak memiliki konklusi yang memuaskan. Ada kesan terburu-buru untuk akhirnya dua karakter ini kembali menemukan pijakannya dan bangkit kembali. Pergerakan narasi redemption nya pun terasa generik dan bergerak biasa saja tanpa terlalu meninggalkan kesan. Di adegan akhir pun, Merchant sebenarnya cukup berlebihan dalam hal menyuntikkan elemen dramatisasinya. Untungnya minor ini tertutupi berkat performa apik para pemeran utama. Tahun 2019 tampaknya menjadi tahun dimana nama seorang Florence Pugh patut menjadi salah satu rising star yang tak bisa diremehkan. Semenjak Midsommar, Pugh telah menyajikan salah satu kekuatannya, yaitu permainan emosi yang tidak terkesan berlebihan dan hal ini ia tunjukkan di film ini. Lihatlah ekspresinya kala menahan tangisan di adegan bandara. Atau kebisuan penuh arti saat ia gagal melakukan "promo" untuk pertama kali di depan penonton. Jack Lowden bermain pada ekspresi subtil untuk menggambarkan perasaan Zak dan ia melakukannya dengan baik. Dwayne Johnson tetaplah Dwayne Johnson, berkharisma dan selalu mencuri perhatian di setiap kehadirannya. Salah satu momen terbaik film ini pun ketika ia secara tiba-tiba melakukan persona nya sebagai The Rock yang kental mengandung unsur nostalgia. Vince Vaughn juga kembali menghadirkan performa solid sebagai trainer yang tegas.

Apakah film ini hanya diperuntukkan bagi penggemar wrestling? Tentu saja tidak. Baik anda merupakan penggemar atau bukan, Anda bisa menikmati film ini karena elemen-elemen wrestling nya disuntikkan sesuai dengan porsi nya. Bahkan bila Anda pun merupakan termasuk pihak yang meremehkan industri ini, justru Anda wajib menonton nya supaya setidaknya Anda mulai bisa mengapresiasi para "pelakon" yang terlibat di dunia wrestling. Mereka yang terlibat dengan dunia ini, tidak hanya mempertaruhkan badan mereka, namun juga kehidupan, keluarga serta mimpi hanya untuk menghibur para penggemar. Saya harap, dengan keberhasilan film ini mampu membuka mata WWE Studios supaya selanjutnya bisa membuat film-film yang mengedepankan hati, ketimbang sajian aksi.

8/10

Thursday, 23 January 2020




 "Do you want your legacy to be muscle shirts and body counts?" - Marcus Burnett

Plot

Atas kelahiran cucu pertama nya, Marcus Burnett (Martin Lawrence) kembali mempertimbangkan keinginannya untuk pensiun sebagai polisi. Niat nya ini tentu tidak terlalu diindahkan oleh partner in crime Marcus, Mike Lowrey (Will Smith) karena ia yakin keinginan partner nya tersebut tidak lah serius. Namun untuk kali ini, Marcus telah membulatkan niat nya. Ditambah lagi, tidak lama setelah perayaan pesta untuk kelahiran cucu nya, Mike diserang secara tiba-tiba oleh pengendara motor misterius. Pengendara tersebut adalah Armando (Jacob Scipio), putra dari Isabel Aretas (Kate Del Castillo) yang tampaknya memiliki dendam personal dengan Mike.




Review

Our Bad Boys are finally back!!!! Setelah kurang lebih 17 tahun Bad Boys 2 mengudara, akhirnya kisah dua polisi yang tidak pernah terlepas dari kekacauan setiap bertugas ini kembali beraksi dalam meringkus penjahat. Kembalinya Bad Boys jelas merupakan kabar bahagia untuk saya karena saya adalah salah satu dari penggemar dari dua film predesor nya. Favorit saya adalah Bad Boys 2 dan berkat itu juga, ada masa dimana saya menganggap Michael Bay adalah sutradara favorit saya. Masih lekat di ingatan bagaimana keseruan saya dan teman menghabiskan waktu istirahat kami dengan menceritakan kegilaan film tersebut di sekolah menengah sambil terbahak-bahak. This franchise was and still one of the biggest part of my life. Maka ketika Bad Boys For Life akhirnya remsi dirilis dan telah ditentukan jadwal tayang nya, saya pun bertekad untuk menonton film ketiga dalam franchise ini di bioskop. Telah terbayang bagaimana asyik nya nanti tertawa bersama dengan penonton yang lain.

Hal yang patut disayangkan untuk film ini adalah absennya Michael Bay yang tidak lagi duduk di kursi sutradara, dan hanya terlibat sebagai cameo sepintas saja. Say whatever you want about Mr. Bay, tapi franchise ini tidak akan berumur panjang tanpa sentuhannya. Selain duo Smith-Lawrence, Michael Bay adalah DNA terpenting di franchise Bad Boys. Bagaimana ia menyajikan sajian aksi beroktan tinggi, tidak ketinggalan dengan humor-humor dewasa nya yang absurd dan gila banget (ex. the video store scene), berhasil membuat saya menjadi penggemar. Sebuah pertanyaan besar apakah duo sutradara, Adil El Arbi dan Bilall Fallah mampu memenuhi ekspektasi dari penggemar yang telah begitu mengenal akan identitas dari Bad Boys. 

Pertanyaan tersebut langsung di jawab oleh Arbi-Fallah pada sajian adegan pembuka nya yang telah melibatkan car chase berdurasi singkat, dan juga diisi dengan interaksi jenaka antara Mike dan Marcus seperti biasa. Lalu, adegan selanjutnya berpindah ke setting penjara, dimana salah satu tahanan yang ada di dalamnya adalah Isabel, yang berlanjut ke sebuah adegan keributan yang melibatkan suatu adegan yang cukup sadis untuk ukuran franchise ini. Selain memperlihatkan jika dua karakter ini tetaplah sama seperti dua film sebelumnya (Mike masih lah polisi yang nekad dan sembrono serta Marcus sebagai polisi yang selalu mengkritik Mike dan tidak tahan dengan adanya mayat), tetapi juga Arbi-Fallah seolah ingin memberikan pernyataan jika mereka berdua memiliki kapabilitas dalam hal penyajian aksi yang tidak akan kalah seperti yang telah dilakukan oleh Michael Bay. Saya pun tersenyum lega, dan tidak sabar menantikan kesenangan yang akan saya dapatkan.

Namun, permasalahan muncul ketika naskah yang ditulis bertiga oleh Chris Bremner, Peter Craig dan Joe Carnahan harus memisahkan sementara duo Mike-Marcus dalam usaha untuk pembangunan konflik dan drama nya. Naskah nya mencoba untuk mengeksplorasi kehidupan berbeda dari Mike yang masih meneruskan pekerjaannya sebagai polisi dalam usaha mengusut tuntas siapa pelaku yang telah menyerang nya, dan Marcus yang kini telah pensiun sebagai polisi. Untuk mengisi kekosongan Marcus, Mike pun mendapat bantuan dari unit baru Miami PD, AMMO (Advance Miami Metro Operations) yang diketuai oleh Rita (Paola Nunez) dengan anggota nya yang relatif masih muda, yaitu Dorn (Alexander Ludwig), Kelly (Vanessa Hudgens) dan Rafe (Charles Melton). Penceritaan Bad Boys For Life pun untuk pertama kali nya terasa personal karena melibatkan dendam dari masa lalu, yang nantinya pun akan menguak sedikit masa lalu dari Mike. Gaya penceritaan ini membuat Bad Boys For Life cenderung cukup serius dibanding dua film terdahulu. Dan untuk pertama kali nya juga, sosok Mike sebagai polisi yang tangguh dan invincible di dua film terdahulu, memperlihatkan sisi rapuhnya kala mental dan fisiknya di uji. Hal ini pun memberikan ruang untuk Will Smith dalam menunjukkan kapabilitas akting nya dengan menyajikan kebimbangan serta kerapuhan pada sosok Mike. Senantiasa hal ini ia tunjukkan lewat ekspresi muka, terutama sorot mata nya. Perhatikan saja permainan ekspresi nya kala Mike memohon bantuan dari Marcus. 

Saya tidak mempermasalahkan atas pilihan ini, karena salah satu kekurangan dari dua film pendahulu adalah kurangnya "hati" pada naskah nya karena Michael Bay cenderung fokus ke set piece action nya sehingga sedikit melupakan aspek tersebut. Dalam film ini, tidak hanya hubungan partner antara Mike-Marcus dipertaruhkan, namun juga melibatkan isu dendam pribadi berasal dari masa lalu, dan juga tragedi atas kehilangan karakter yang cukup berpengaruh dalam franchise ini. Tentu hal ini mempengaruhi pada tone film yang sedikit lebih serius, bila tidak ingin dibilang kelam. Hal yang pertama saya temukan dalam franchise ini. Juga keberadaan villain dalam Bad Boys For Life tidak bisa diremehkan berkat pendekatan yang dilakukan Arbi-Fallah. Karakter Armando berhasil menyaingi, bahkan melebihi Mike baik dalam strategi maupun bertarung. Namun sayangnya, dengan pilihan ini, Arbi-Fallah harus mengorbankan satu elemen terpenting, yaitu kegilaan yang tercipta dari duet Mike-Marcus akibat character arc kedua tokoh ini yang terpisah. Saya mengapresiasi niat untuk membawa Bad Boys For Life ke ranah yang lebih memperdalam aspek cerita, namun this is Bad Boys. Film-Film Bad Boys bukanlah sajian film aksi yang mengedepankan pada aspek tersebut karena ceritanya cukup hanya menjadi landasan untuk setiap parade kekacauan serta banter humor dari duo Mike-Marcus. Dan sebaliknya, di film ketiga ini, hal tersebut malah seperti nya sedikit di rem dalam rangka untuk mengembangkan cerita nya. 

Keputusan ini jelas berdampak pada kadar humor yang benar-benar kurang nonjok nya kala keduanya tidak bersama dalam satu layar. Tak diragukan lagi, chemistry kuat jelas telah tercipta antara Will Smith dan Michael Lawrence. Walau memang masih ada momen kekonyolan Marcus ketika tengah menikmati masa pensiunnya, namun tentu saja hal tersebut tidak akan lengkap jika tanpa keberadaan Mike. Terbukti, setelah mereka berdua akhirnya beraksi bersama lagi, pada saat itu juga Bad Boys For Life kembali menunjukkan taring nya. Bila nanti memang akan ada sekuel keempat, maka saya berharap, screentime kedua nya berada di satu layar ditambah lagi.


Pada sekuen aksi, Arbi-Fallah sedikit menambahkan adegan bertarung jarak dekat sebagai penambah bumbu baru, selain kejar-kejaran yang kini tidak hanya melibatkan roda empat saja dan tentu dengan aksi tembak menembak nya yang benar-benar menjadi sajian utama pada adegan aksi penutup. Dosis kebrutalan maupun kekerasannya pun ikut meningkat untuk menambah warna, dan sedikit sentuhan berbeda pada momen kejar-kejaran pada malam hari, yang andaikan saja durasi nya ditambah, mungkin akan bisa menyaingi sajian car chase di Bad Boys 2 yang melibatkan puluhan mobil hingga kapal yang terbang. Usaha modernisasi juga mewarnai sajian aksinya dimana Bad Boys For Life cukup banyak melibatkan teknologi-teknologi baru, walau tidak sampai ke taraf super canggih.

Fokus serta porsi drama hampir mendominasi pada character arc milik Mike, sehingga mau tidak mau Will Smith harus menyingkir untuk berparitisipasi di adegan komedi nya. Untungnya Michael Lawrence bukan aktor sembarangan. Sempat absen di dunia perfilman selama 8 tahun, Lawrence membuktikan jika ia belum lah kehilangan sentuhan akting komedi nya. Ocehan-ocehan yang terlontar di tengah sajian aksi serta obrolan nya dengan Mike di pesawat sukses meledakkan tawa seluruh penonton. Walau fisiknya kini tidak mengijinkannya untuk melakukan adegan aksi yang over the top, namun hal ini berhasil ia tutupi dengan memaksimalkan setiap humor yang ada, sehingga ia dengan mudah berhasil menjadi scene stealer di film ini. Bad Boys For Life semakin lengkap dengan berbagai tribute sebagai ruang untuk bernostalgia bagi penggemar yang mengikuti film ini dari pertama, baik dari humor nya, sajian aksi, bahkan teknik pengambilan gambar seperti circle shot yang merupakan salah satu signature dari Michael Bay pun ikut hadir. 

Menghadirkan naskah yang cukup personal di instalmen ketiga telah cukup memberikan bukti jika dalam franchise ini masih ada beberapa hal yang patut dieksplorasi, sehingga saya pun tidak keberatan jika memang nantinya akan ada film lanjutan. Terlebih lagi dengan bertambahnya anggota baru yang tersaji di adegan akhir, membuat saya cukup yakin jika kita akan mendapatkan Bad Boys 4. Sempat membuat saya bosan ketika Mike-Marcus tidak berada di satu frame bersama di pertengahan awal, Bad Boys For Life mampu menghibur saya setelahnya dengan chemisty yang kuat antara Will Smith dan Martin Lawrence, humor yang bekerja cukup baik, dilengkapi pula dengan sajian aksi yang cukup menghibur. 

7,75/10



Wednesday, 15 January 2020


"Damn ye! Let Neptune strike ye dead, Winslow! Haaark!"- Thomas Wake

Plot

Pemuda bernama Ephraim Winslow (Robert Pattinson) ditugaskan untuk mengoperasikan mercusuar di pulau terpencil di New England. Disana, ia akan ditemani dan diawasi oleh Thomas Wake (Willem Defoe), pria tua yang tampaknya telah lama bekerja di tempat tersebut.




Review

Bayangkan jika Anda diperintahkan untuk bekerja di tempat terpencil, hanya ditemani satu orang saja, melakukan pekerjaan berat layaknya kuli, dan parahnya, tanpa adanya hiburan teknologi dari smartphone mu, televisi, radio dan lainnya. Silahkan tanya diri sendiri, berapa lama Anda akan bertahan? Situasi ini lah yang melandasi sajian horror kedua milik Robert Eggers, setelah karya pertamanya, The Witch (2015), yang menyeramkan itu. Bila di karya debut nya, Eggers bermain dengan kutukan dongeng sihir, pada The Lighthouse, Eggers menampilkan kepiawaiannya dalam ngetwist psikologi karakter-karakter di film nya dengan menempatkan mereka pada situasi terisolasi. Dan karena masih bekerja sama dengan rumah produksi A24, jauhi harapan Anda bila ini adalah film konservatif seperti film horor psikologi pada umumnya. Siap-siap untuk mengantisipasi pergerakan narasi yang cenderung lambat, dan juga yang pasti akan kaya makna tersembunyi di dalam nya. Tentu film ini menantang kejelian serta kesabaran.

Eggers telah menanam bibit-bibit aura horor nya dengan terlebih dahulu memperkenalkan setting tempat yang akan menjadi panggung narasi nya. Dari deburan ombak kencang yang tak pernah berhenti, rumah tempat tinggal sementara untuk Winslow dan Thomas yang ala kadarnya dan minim pencahayaan, suara "misterius" yang memekakkan telinga, telah lebih dari cukup untuk menebalkan kesan terisolir pulau tersebut dengan dunia luar. Ditambah dengan film yang ditampilkan dalam balutan hitam putih untuk menambah kesan jadul, atau horor nya. Unsettling, tapi entah kenapa, perhatian saya telah terenggut sepenuhnya. Turut diselingi dengan sambutan dari Wake kepada Winslow yang tidak terlalu berkesan. Malam pertama Winslow semakin lengkap kala ia mengalami mimpi aneh yang melibatkan sosok mitologi di lautan (perhatikan poster film di atas).

40-50 menit awal film bergerak cenderung lambat dengan menyaksikan keseharian kedua karakter di pulau tersebut. Bisa jadi melelahkan, namun untungnya |Eggers masih berbaik hati untuk membangun perlahan konflik melalui interaksi antara Winslow dan Wake yang akan menjadi pusat nya. Karakter Wake sendiri memang bukanlah seorang atasan yang menyenangkan bagi pemula seperti Winslow. Banyak bicara dan selalu memerintah, ditambah lagi pembagian kerja yang ia berikan kepada Winslow juga tidak berimbang. Bila Wake bertugas di malam hari untuk merawat lampu mercusuar, sebaliknya, Winslow harus bekerja di pagi hingga siang dengan diberikan tanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan berat, seperti mengambil batu bara, membersihkan mesin jam, hingga harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mengepel. Cobaan Winslow tidak berhenti di situ, dimana burung camar pun ikut-ikutan mengganggu hari-hari nya. Momen-momen ini memiliki substansi supaya penonton mampu memahami betapa berat dan tidak mengenakkannya keseharian Winslow selama bekerja di pulau tersebut.

Sampai ketika Winslow bangun di pagi hari setelah menghabiskan malam bermabuk-mabukan bersama Wake untuk merayakan kepulangan mereka, disitulah Eggers menaikkan tensi nya dengan menyajikan drama psikologi horor kepada penontonnya. Sebagai editor, Louis Ford menunjukkan taji nya disini. Penonton akan dibuat kebingungan mana fakta atau ilusi berkat editing nya. Parahnya lagi, kita juga tidak tahu harus percaya dengan siapa antara Winslow dan Wake. Point of view sedari menit pertama diambil dari Winslow, sehingga kita pun sulit untuk memegang sepenuhnya setiap ucapan dari Wake yang sering kali bertolak belakang dengan apa yang kita saksikan. Mempercayai Winslow pun bukan lah kebijakan yang tepat disebabkan kewarasannya yang semakin tergerus atas faktor tertekan dan kesepian yang melanda. Ya, sosok Winslow semakin lama semakin dikuasai oleh pulau tersebut. 

Hubungan antara Winslow dan Wake pun keanehannya berhasil membuat saya menggaruk kepala saya. Terkadang mereka menghabiskan waktu dengan pesta bersama sembari bersenda gurau, namun di lain kesempatan, tidak jarang terjadi adu mulut antar keduanya, dan semakin mendekati akhir, konflik antara mereka sudah masuk ke level baku hantam. Efektif sekali untuk menambah dosis ketidak nyamanan kepada penonton.

The Lighthouse disokongi oleh penampilan memikat dari Willem Defoe dan Robert Pattinson. Sebagai Wake, Defoe sukses memerankan karakter nya yang keras bagaikan seorang kapten bajak laut. Tubuhnya terlihat telah termakan usia, namun sosoknya layaknya raksasa ketika melontarkan perintah sehingga membuat karakter Winslow mau tidak mau menuruti perintahnya. Namun performa Pattinson patut menjadi highlight dalam film ini. Saya tahu jika Pattinson telah membuktikan dirinya mampu berakting di film-film sebelumnya (kecuali perannya di Twilight franchise), namun saya tidak mengira jika ia memiliki kapabilitas akting seperti yang ia tunjukkan dalam film ini. Kegilaan seorang Winslow ditampilkannya secara total. Simpati mudah diberikan untuknya kala ia berteriak penuh keputus asaan, walau akal sehat nya patut dipertanyakan. Lihatlah ekspresi nya di akhir film yang menyeimbangkan rasa sakit juga kegilaan.

8/10

Monday, 13 January 2020


 "Dia pikir perasaan manusia tuh bisa diatur pake tombol kali ya. Kayak robot"- Aurora

Plot

Sebagai seorang kepala keluarga, Narendra (Oka Antara/Donny Damara) berusaha sebisa mungkin untuk menjaga kebahagiaan istri nya, Ajeng (Niken Anjani/Susan Bachtiar) dan ketiga anak nya, Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara) dan Awan (Rachel Amanda). Terhadap anak-anak nya, Narendra memberikan perlakuan yang berbeda, dimana untuk Angkasa sebagai anak sulung, Narendra senantiasa mengingatkan kepada Angkasa bila ia bertanggung jawab sepenuhnya untuk melindungi kedua adik-adik nya. Perlakuan spesial yang ia berikan kepada Awan, si anak bungsu, secara tidak langsung mengakibatkan jarak antara Narendra dengan Aurora, yang kerap kali mengurung diri nya di studio seni miliknya.




Review

Sebagai penonton yang sama sekali buta perihal informasi akan film ini, saya sempat tertipu dengan poster film nya yang menampakkan para karakter utama tersenyum lebar, seolah menikmati kebersamaan di sore hari. Nyatanya, film yang diadaptasi dari novel best seller berjudul sama karya Michael FP ini menawarkan drama konflik keluarga yang mampu menguras emosi berkat cerita nya yang relatable untuk sebagian besar, atau bahkan seluruh penonton. Sebagai anak, siapa yang tidak pernah cemburu atas perlakuan emas orang tua terhadap saudara kita sehingga kita terasa seperti anak tiri saja, atau juga mendapatkan treatment dari orang tua yang cukup tegas bagi anak sulung. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) menjelma bagaikan sajian sinema berupa refleksi atas permasalahan kehidupan keluarga pada umum nya, tidak terlepas juga saya. 

Angga Dwimas Sasongko yang duduk di kursi sutradara menyajikan NKCTHI dengan narasi non linear, dengan ceritanya melompat dari masa lalu dan sekarang sewaktu-waktu. Dengan pendekatan ini, terdapat usaha untuk semakin memperdalam konflik nya dengan pengadaan pada masa lalu nya. Penonton diajak untuk memahami akan setiap motif dari masing-masing karakter berdasarkan kejadian demi kejadian pada masa lalu, yang akan mempengaruhi sikap masing-masing karakter di periode present. Dari tersibak nya mengapa sang ayah overprotektif terhadap Awan, lalu perasaan bersalah serta beban tanggung jawab yang begitu terpatri di dalam relung Angkasa, hingga benih-benih lahirnya kesedihan Aurora atas perasaan terkucilkan yang selalu ia pendam. 

Dan pada periode masa kini nya, lahir dampak yang mempengaruhi sikap tiap karakter, terutama untuk ketiga anak. Angkasa merasakan tekanan yang kuat dari sang ayah sehingga dirinya selalu mengedepankan perihal keluarga, dibandingkan kebutuhan nya sendiri. Sikap Angkasa ini tanpa sadar mempengaruhi hubungannya dengan kekasihnya, Lika (Agla Artalidia) yang telah berjalan 4 tahun. Awan menjadi seorang anak yang sering membantah ayah nya atas dorongan keinginannya untuk bisa bebas dan memilih jalan nya sendiri. Sedangkan Aurora seolah menciptakan sekat sebagai pembatas antara dirinya dan keluarganya. 

NKCTHI berhasil membawa saya mengingat-ingat kembali bagaimana ayah dan ibu saya mendidik saya dan keempat saudara saya ketika masih kecil. Masih begitu lekat di dalam ingatan ketika saya menyaksikan bagaimana tegas dan keras nya ayah saya dalam mendidik kedua kakak saya, terutama kakak pertama, yang tidak jarang harus menerima kemarahan bahkan pukulan di muka ketika perintah nya tidak dijalankan. Entah beberapa kali saya memilih untuk masuk ke dalam kamar karena takut setiap kali ayah saya mulai memanggil nama kakak saya tersebut dengan nada tinggi nya. Momen-momen ini berhasil membuat saya melihat ayah saya itu bagaikan sosok monster, dan rasa takut terhadap beliau jelas hadir. Hubungan antara Narendra dan Angkasa disini tentu saja mengingatkan saya akan momen-momen tersebut, membuat saya memahami sepenuhnya bagaimana rasa tertekan Angkasa atas perlakuan sang ayah. Setiap kali Narendra mulai memarahi Angkasa, di situ juga saya seolah melihat sosok kakak saya pada karakter Angkasa. Dan ini hanya sebagian contoh saja, karena masih banyak momen-momen dalam film ini berhasil dengan brilian mengingatkan saya akan konflik dalam keluarga kami, yang merupakan bukti jika narasi NKCTHI begitu dekat dengan realita. Dan berkat elemen inilah, sangat mudah untuk tenggelam dalam pergulatan emosi di setiap menit kala konflik demi konflik dalam NKCTHI mulai bermuara.

Perihal komunikasi sering kali memang diremehkan esensi nya. Dengan minim nya komunikasi, akan hadir sebuah diskoneksi yang lambat laun menumpuk suatu permasalahan. Dalam NKCTHI, jarang sekali Narendra mau mendengarkan alasan mengapa keinginannya tidak terpenuhi oleh anak-anaknya. Kembali ke contoh Angkasa yang sering ia salahkan atas hal buruk yang terjadi pada kedua adik nya, terutama Awan, tanpa sedikitipun untuk membuka ruang diskusi bersama Angkasa.  Bahkan sikap membantah dari Awan pun ia salahkan sepenuhnya pada Angkasa. Perlakuan sikap nya tersebut adalah yang terbaik untuk nya dalam usaha melindungi anak-anaknya, namun bagaimana untuk anak-anak nya? Apakah mereka memiliki pemikiran yang sama? Hal ini pun terlihat kala di suatu momen mereka berkumpul setelah terjadi keributan yang cukup besar di hari penting Aurora, Narendra lebih memilih mengutarakan apa yang ia mau, ketimbang bertanya apa sebenarnya yang diinginkan oleh anak-anaknya. 

Mudah untuk menganggap karakter Narendra disini sebagai antagonist dalam cerita. Ia layaknya sumber perpecahan yang terjadi di dalam keluarga nya. Namun di satu sisi, saya dan bersama penonton lain bisa menangkap ada kasih sayang di setiap perlakuan "tidak mengenakkan" dari Narendra. Mungkin cara nya salah, tetapi sebagai orang tua, ia ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Saya telah mengantisipasi bila nantinya Angga yang juga menulis naskah bersama Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief akan memberikan sentuhan emosional di akhir untuk menampilkan sisi yang berbeda dari Narendra. Dan pada momen ini lah, pertahanan saya untuk tidak mengeluarkan air mata jebol juga, bersamaan luapan tangis dari Donny Damara. Bagaimana maskulinitas yang selalu ia tunjukkan demi menjaga kewibawaan atau juga menyembunyikan luka di masa lalu akhirnya luntur bersamaan dengan tangisan. Seketika menghadirkan pertanyaan menarik, disaat sang anak selalu ingin ayah mereka mengerti perasaaan mereka, namun mereka lupa juga bertanya bagaimana perasaan ayah mereka yang sebenarnya. Sentuhan yang terlihat adil sehingga tidak sepenuhnya mengantagoniskan karakter Narendra. Benar apa yang dikatakan Angkasa, mungkin Narendra pun merasakan capek seperti apa yang dirasakan mereka, namun perasaan ini mampu tertutupi dikarenakan kebahagiaan anak-anak nya. Ironi juga hadir kala Awan yang mulai beranjak untuk membangkang dan ingin menjalani hidupnya sesuai kemauan ia sendiri serta lebih memilih menghabiskan bersama orang yang baru ia kenal, namun berhasil membuat nya nyaman, malah disodorkan fakta dan pelajaran mengenai tanggung jawab. 

Jajaran aktor pemeran berhasil mempertunjukkan kapabilitas akting yang gemilang, dari Rachel Amanda yang likeable serta berhasil mempertontonkan sisi rebel dari Awan, Rio Dewanto yang mampu menyeimbangkan sosok Angkasa yang hangat serta menggambarkan beban besar di pundaknya melalui permainan ekspresi wajah, serta Donny Damara dengan gemilang menyajikan sosok Narendra yang keras, namun dibalik itu terdapat kerapuhan subtil yang kerap terpendam, hingga pecah di akhir. Favorit saya sendiri adalah Oka Antara dan Sheila Dara, dimana Oka senantiasa menggambarkan ketulusan dari sorot mata nya, meski di saat marah sekalipun, dan Sheila Dara membuat saya speechless atas suguhan akting sempurna nya dalam menggambarkan pergolakan batin luar biasa dalam sosok Aurora. Momen terbaiknya sendiri muncul pada setting tempat di galeri seni nya, dengan menampilkan ekspresi kaya makna walau minim kata-kata. Untuk karakter Ajeng sendiri pun memang baru diberikan kesempatan untuk bersinar kala film mulai bergerak menuju akhir, setelah sebelumnya, karakter Ajeng lebih banyak memilih diam dan menyaksikan konflik yang terjadi. Terkesan pasif, namun hal ini terbayar lunas kala nanti nya ia berhasil menjadi penghangat atau perekat di tengah permasalahan yang terjadi. Baik Susan Bachtiar atau Niken Anjani sukses menghadirkan kehangatan tersebut. Nayla Denny Purnama (Aurora remaja) dan Sinyo Riza (Angkasa remaja) pun patut diberi kredit lebih atas penampilan memukau mereka, terutama Nayla.

Minor complaint dari saya sendiri adalah terlalu sering nya lantunan instrumen latar di putar. Mungkin ada hampir tiap menit musik latar mengudara, sehingga ada terkesan Angga ingin lebih mudah penonton terbawa emosi nya. Padahal bila digunakan secukupnya, saya rasa jauh lebih baik. Pemilihan kata-kata pun sedikit terasa filosofis di beberapa kesempatan membuat saya merasa kalau sedikit sekali kemungkinan orang tetiba puitis kala mengobrol berdua saja di kedai kopi. Mengenai konklusi di akhir, walau saya telah terbawa emosi sepenuhnya pada flashback Narendra, tetapi saya merasakan jika di bagian ini kurang memuaskan. Saya sih lebih memilih jika konklusi nya tercipta ada perbincangan hati ke hati dari sang ayah kepada ketiga anaknya. Namun, kritik kecil ini tentu saja mudah tertutupi atas gelaran drama memuaskan yang telah hadir sebelumnya, yang menjadikan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini adalah sajian sinema lokal terbaik sejauh ini, dan mungkin bertahan hingga akhir tahun nanti.


8,25/10

Saturday, 11 January 2020



"You shouldn't be wasting your years on this God forsaken place. Far, far away from here, beyond the world of Thors, as the son of Thors, you must go there. That is your true battle."

Plot

Periode awal 1013 AD, periode dimana Raja Danish, Sweyn Forkbeard menguasai sebagian besar daratan England. Namun, dikarenakan usia sang raja sudah memasuki uzur, Raja Sweyn mulai mempertimbangkan penerus yang baginya layak untuk menyandang mahkota seorang raja. Raja Sweyn memiliki dua anak, yaitu Harold dan Canute. Bila Harold memiliki kapabilitas yang baik sebagai pangeran, tidak untuk Canute, yang tidak pernah berbicara di depan publik dan hampir selalu menutup muka nya dikarenakan malu. Sebab itulah, Raja Sweyn memerintahkan Canute untuk terjun langsung di medan perang, dengan pengawasan dari Ragnar, orang kepercayaan Raja Sweyn. 

Di sisi lain, di daratan Iceland yang damai, terdapat mantan komandan Jomsvikings bernama Thors yang tengah hidup damai dengan keluarganya. Pada masa nya sebagai komandan, Thors terkenal dengan kemampuan bertarung serta berpedang nya yang di atas rata-rata sehingga dirinya sangat ditakuti dalam dunia perang. Ia pun dijuluki sebagai "The Troll of Jom". Namun, Thors mulai lelah dengan perperangan, dan ketika ia akhirnya menjadi suami Helga, Thors melakukan suatu tindakan paling hina sebagai ksatria, yaitu kabur pada saat perang tengah berlangsung dengan cara memalsukan kematian ketika ia jatuh ke dalam laut. Selama 15 tahun setelah ia kabur, Thors dan Helga membangun sebuah keluarga yang damai di Iceland dan telah memiliki dua anak, yaitu Ylva dan Thorfinn.



Keberadaan Thors pun akhirnya diketahui oleh Floki, mantan rekan Thors di dunia perang. Floki pun memaksa Thors untuk ikut bergabung dengan Jomsvikings kembali, yang kini bergabung dengan pihak Danish, dan membantu mereka dalam perperangan melawan England. Floki pun mengancam jika Thors menolak ajakan dari nya, maka Floki dan pasukan perang nya akan menyerang desa yang menjadi tempat tinggal Thors. Thors pun terpaksa menerima ajakan Floki demi keselamatan desa nya. Namun, Floki sendiri pun memiliki rencana terselubung, dimana ia menjalin kesepakatan dengan Askeladd, ketua dari para tentara bayaran untuk membunuh Thors dalam perjalannnya.






Review

Sedikit berbagi, mood saya untuk menulis belakangan ini menurun secara drastis, yang secara tidak langsung pun ikut berimbas pada semangat saya untuk menonton atau pun membaca. Praktis, setelah Anomalisa, tontonan yang saya ikuti hanya lah anime ini. Niat untuk menulis ulasan Vinland Saga pun ikutan molor, dimana anime nya sendiri sudah menutup tirai ceritanya pada tgl 30 Desember 2019 kemarin. Bahkan terlintas dalam benak untuk sama sekali tidak menulis review untuk anime ini di dalam blog. Ya, serendah itu niat menulis saya. Namun, saya kembali berpikir, alangkah rugi nya saya jika sama sekali tidak berbagi kepada kalian mengenai Vinland Saga, yang bagi sebagian besar penikmat anime, merupakan salah satu, jika bukan, anime terbaik yang dirilis tahun baru.

Sebagai rumah studio yang bertanggung jawab dalam menangani animasi Vinland Saga, beban berat disandang oleh Wit Studio. Mengadaptasi manga critical acclaim layaknya Vinland Saga jelas bukanlah pekerjaan yang gampang. Ekspektasi tinggi tertancap dalam penggemar yang mengikuti kisahnya di manga. Tidak hanya itu, turut pula diselingi dengan keraguan apakah Wit Studio mampu melakukan pekerjaan baik, mengingat karya dari Makoto Yukimura ini sering disebut sebagai salah satu manga yang unadaptable. Apalagi masih terpatri jelas bagaimana kecewa yang sangat mendalam atas adaptasi anime terbaru Berserk. Hal yang wajar muncul skeptisme besar atas dirilisnya anime ini. Dan bagaimana hasil akhir nya? Well, you just read the closing statement from the first paraghraph.

Bila pada manga nya Makoto Yukimura sedikit menggunakan gaya cerita non linear dimana kita telah melihat Thorfinn dalam bentuk remaja dan telah bergabung dengan Askeladd, pada anime nya, justru kita mengikuti kisah nya benar-benar dari awal, tepatnya momen sebelum Thors berangkat ke medan perang setelah dipaksa oleh Floki. Bagi saya, ini pilihan yang cukup berani dari Wit Studio. Walaupun di chapter awal pembaca tidak terlalu mengerti akan inti atau konteks cerita, namun tak terpungkiri, Yukimura-sensei telah merenggut atensi pembaca dengan situasi perang yang ada. Sebaliknya, Vinland Saga versi anime dibuka dengan atmosfir yang tenang, juga hingga akhir episode pertama berakhir, tidak ada hal yang terlalu signifikan terjadi, selain kita mempelajari karakter sentral untuk episode-episode awal ini, siapa lagi kalau bukan Thors. Ya, setidaknya untuk 4 episode awal. Terdapat sebuah momen besar yang bisa saya katakan sangat berani yang dilakukan oleh Yukimura-sensei demi melahirkan motivasi utama bagi salah satu karakter protagonist utama. Bila Anda telah mengikuti manga ataupun anime nya, Anda pasti tahu momen apa yang saya maksud.

Bahkan lebih dari itu, momen tersebut ikut pula melahirkan sebuah pertanyaan yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi beberapa karakter utama yang mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Iya, kurang lebih, inti cerita dari Vinland Saga adalah pencarian jati diri dan juga tujuan hidup dari masing-masing karakter, dengan kumpulan perperangan antara Danish dan England, serta intrik politik yang ikut menyertai menjadi jembatan atas narasi tersebut.

Satu hal yang membuat saya lebih mudah menyukai manga/anime bergenre seinen ketimbang shounen adalah setiap author memiliki kebebasan dalam menyajikan narasi yang lebih berani dan provokatif. Mereka lebih leluasa untuk menyentuh ke ranah yang bisa dibilang masih tabu demi narasi, ambil contoh the infamous rape scene from Berserk, dan dalam Vinland Saga, bagaimana seorang anti hero utama dengan mudah nya membantai habis satu desa supaya keberadaan mereka tidak diketahui oleh musuh. Bukan berarti dalam animanga Shounen tidak ada sama sekali yang berani melakukan hal yang sama (ex. Hunter X Hunter dan Fullmetal Alchemist), namun Anda bisa menemukan dengan mudah di animanga berjenis seinen.

Dalam Vinland Saga, satu-satu nya elemen shounen yang disuntikkan dalam cerita adalah Thorfinn itu sendiri yang masih berusia remaja. Namun karakterisasi nya jauh bertolak belakang, dimana sebagai protagonist utama, karakterisasinya lebih mendekati sebagai sosok anti hero ketimbang hero. Motivasi nya sendiri hanya satu, yaitu balas dendam. Dan untuk mencapai tujuan nya, telah banyak darah yang tumpah atas perbuatannya di medan perang, salah satu elemen yang dihindari dalam kisah animanga Shounen. Bagaimana sosok Thorfinn kecil yang ceria layaknya anak kecil lainnya, bertransformasi menjadi sosok remaja yang dengan mudahnya membunuh serta diliputi kebencian. Secara bijak, Wit Studio menyediakan proses transformasi Thorfinn dengan memperlihatkan perjuangannya untuk beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Hal ini membuat transformasi Thorfinn tersaji secara terperinci ketimbang apa yang ada di dalam manga.

Thorfinn sendiri nantinya akan bergabung dengan grup Askeladd. Tanya mengapa? Well, tentu saja untuk membalaskan dendam atas perbuatan Askeladd. Untuk membalaskan dendam nya, Throfinn ingin membunuh Askeladd dalam duel layaknya ksatria, ketimbang menggorok leher nya diam-diam kala Askeladd tengah beristirahat. Narasi ini memberikan kompleksitas sendiri akan hubungan antara Askeladd dan Thorfinn. Di satu sisi, Askeladd tampak hanya memanfaatkan kemampuan Thorfinn demi agenda nya tersendiri. Namun tidak jarang, Askeladd menaruh hormat kepada Thorfinn dan memperlakukan Thorfinn layaknya murid.

Karakterisasi menjadi kekuatan utama dari Vinland Saga. Setiap karakter memiliki layers, tidak one dimensional dan masing-masing memiliki motivasi yang berbeda, dan ini tidak hanya berlaku untuk karakter-karakter utama saja. Bahkan karakter minor seperti Atli, salah satu anggota grup Askeladd, pun bagaikan memiliki character arc nya sendiri ketimbang hanya menjadi salah satu bawahan dari Askeladd. Dan berbicara Askeladd, tak terpungkiri, ia berhasil menjadi karakter terbaik di dalam penceritaan Vinland Saga.

Patut diingat, Askeladd adalah the main antagonist dalam kisah Vinland Saga. Sebagai pemimpin grup Viking, ia tidak ragu menghalalkan segala cara demi menjalankan agenda nya. Dia taktikal, dan lebih menggunakan otak nya ketimbang terjun langsung untuk beradu pedang. Dan kemampuan pedang atau bertarung nya pun tidak bisa diremehkan, terlihat bagaimana ia mampu merepotkan Thors, yang notabene nya adalah karakter terkuat dalam dunia Vinland Saga. Tidak cukup dari itu, ia merupakan karakter yang kharismatik dan badass, baik sebagai pemimpin atau pun karakter, sehingga cukup susah untuk membencinya. Apalagi ketika di akhir-akhir episode, Askeladd menjadi salah satu fokus penceritaan dan kita pun akhirnya mengetahui backstory Askeladd serta motivasi utama nya. Character arc pada Askeladd pun memiliki ironi tersendiri, dimana rencananya selalu lancar ketika ia melakukan apa yang sebenarnya tidak ia inginkan, namun keberuntungan tersebut mulai menjauh kala Askeladd bertindak sepenuhnya berdasarkan keinginannya.


Penceritaan Vinland Saga makin kaya ketika Yukimura-sensei tidak melupakan "hati" pada narasinya, di tengah perperangan serta gorefest yang terjadi. Bagaimana Yukimura-sensei menyajikan kesedihan seorang ibu yang kasih sayangnya dikhianati kala melihat seorang anak menampilkan sisi pembunuh nya. Dan untuk Askeladd sendiri, siapa sangka bila karakter yang awal nya digambarkan seolah tanpa hati dan hanya bergerak berdasarkan keuntungannya sendiri, adalah sosok penyayang ibu dan tanah air nya, sehingga rela melakukan tindakan nekad yang terjadi di episode akhir. Aspek ini yang membuat Vinland Saga bukanlah tipe anime/manga yang mudah terlupakan. Ditambah pula balutan kental akan histori Viking nya yang diselipkan oleh sang author. Bahkan karakter-karakter utama dalam Vinland Saga sendiri diambil dari tokoh-tokoh sejarah di masa Viking.

Saya sangat mensyukuri atas keberhasilan Wit Studio dalam mengadaptasi Vinland Saga. Dengan ini, popularitas Vinland Saga semakin meningkat. Dan siapa tahu, dengan populer nya anime ini, semakin banyak manga Seinen yang diangkat ke dalam media anime, supaya mampu mengimbangi kedigdayaan animanga Shounen. Wit Studio mampu menciptakan atmosfir yang tepat di setiap momen-momen penting nya. Untuk adegan fight nya sendiri, Wit Studio berhasil memanfaatkan media animasi nya untuk menciptakan sebuah fight yang memberikan impresi mendalam, terlepas akan durasi singkat atas pertarungan tersebut. Setelah beberapa anime seinen yang cukup mengecewakan fans, pekerjaan brilian Wit Studio ini tentu saja layak sekali untuk diapresiasi. Semoga saja di season 2 nya nanti, Wit Studio masih menangani anime Vinland Saga.

Tidak ada cerita yang sempurna, begitu pula Vinland Saga. Dan dari sini, saya akan sedikit menyentuh spoiler, jadi lewatkan paragraf berikut ini jika Anda belum mengikuti sama sekali kisah nya.

Spoiler Ahead!

Kritik terbesar saya adalah transformasi tiba-tiba pada karakter Prince Canute. Sosoknya yang pemalu, terlihat pengecut, lemah dan sama sekali tidak memiliki kewibawaan sebagai pemimpin atau bahkan raja, berhasil menjadi sosok yang 180 derajat berbeda, dengan karakternya yang mendadak menjadi pangeran yang tegas, berwibawa serta taktikal? Saya tahu, banyak anime/manga yang mengambil pendekatan serupa, namun bagi saya, sangat susah untuk mempercayai transformasi yang muncul dalam hitungan beberapa menit. 

Spoiler Ends

Iya, hanya itu. Setidaknya hingga arc pertama habis yang dirangkum dalam 24 episode dan 54 chapter nya. Dengan setting nya yang diambil pada saat invasi Danish di tanah England, mungkin terbayang di benak bila Vinland Saga akan didominasi dengan kisah-kisah perperangannya, namun Vinland Saga tidak lain tidak bukan adalah kisah dimana tokoh-tokoh nya mencoba mencari tujuan hidup mereka di tengah perperangan yang terjadi. Dan percayalah, ketika Anda telah selesai menonton episode 24, Anda akan teriak dalam diri Anda, "I NEED TO READ A FUCKING MANGA!!". Yes, that's how great Vinland Saga is.

8,75/10

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!