Wednesday 15 January 2020


"Damn ye! Let Neptune strike ye dead, Winslow! Haaark!"- Thomas Wake

Plot

Pemuda bernama Ephraim Winslow (Robert Pattinson) ditugaskan untuk mengoperasikan mercusuar di pulau terpencil di New England. Disana, ia akan ditemani dan diawasi oleh Thomas Wake (Willem Defoe), pria tua yang tampaknya telah lama bekerja di tempat tersebut.




Review

Bayangkan jika Anda diperintahkan untuk bekerja di tempat terpencil, hanya ditemani satu orang saja, melakukan pekerjaan berat layaknya kuli, dan parahnya, tanpa adanya hiburan teknologi dari smartphone mu, televisi, radio dan lainnya. Silahkan tanya diri sendiri, berapa lama Anda akan bertahan? Situasi ini lah yang melandasi sajian horror kedua milik Robert Eggers, setelah karya pertamanya, The Witch (2015), yang menyeramkan itu. Bila di karya debut nya, Eggers bermain dengan kutukan dongeng sihir, pada The Lighthouse, Eggers menampilkan kepiawaiannya dalam ngetwist psikologi karakter-karakter di film nya dengan menempatkan mereka pada situasi terisolasi. Dan karena masih bekerja sama dengan rumah produksi A24, jauhi harapan Anda bila ini adalah film konservatif seperti film horor psikologi pada umumnya. Siap-siap untuk mengantisipasi pergerakan narasi yang cenderung lambat, dan juga yang pasti akan kaya makna tersembunyi di dalam nya. Tentu film ini menantang kejelian serta kesabaran.

Eggers telah menanam bibit-bibit aura horor nya dengan terlebih dahulu memperkenalkan setting tempat yang akan menjadi panggung narasi nya. Dari deburan ombak kencang yang tak pernah berhenti, rumah tempat tinggal sementara untuk Winslow dan Thomas yang ala kadarnya dan minim pencahayaan, suara "misterius" yang memekakkan telinga, telah lebih dari cukup untuk menebalkan kesan terisolir pulau tersebut dengan dunia luar. Ditambah dengan film yang ditampilkan dalam balutan hitam putih untuk menambah kesan jadul, atau horor nya. Unsettling, tapi entah kenapa, perhatian saya telah terenggut sepenuhnya. Turut diselingi dengan sambutan dari Wake kepada Winslow yang tidak terlalu berkesan. Malam pertama Winslow semakin lengkap kala ia mengalami mimpi aneh yang melibatkan sosok mitologi di lautan (perhatikan poster film di atas).

40-50 menit awal film bergerak cenderung lambat dengan menyaksikan keseharian kedua karakter di pulau tersebut. Bisa jadi melelahkan, namun untungnya |Eggers masih berbaik hati untuk membangun perlahan konflik melalui interaksi antara Winslow dan Wake yang akan menjadi pusat nya. Karakter Wake sendiri memang bukanlah seorang atasan yang menyenangkan bagi pemula seperti Winslow. Banyak bicara dan selalu memerintah, ditambah lagi pembagian kerja yang ia berikan kepada Winslow juga tidak berimbang. Bila Wake bertugas di malam hari untuk merawat lampu mercusuar, sebaliknya, Winslow harus bekerja di pagi hingga siang dengan diberikan tanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan berat, seperti mengambil batu bara, membersihkan mesin jam, hingga harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mengepel. Cobaan Winslow tidak berhenti di situ, dimana burung camar pun ikut-ikutan mengganggu hari-hari nya. Momen-momen ini memiliki substansi supaya penonton mampu memahami betapa berat dan tidak mengenakkannya keseharian Winslow selama bekerja di pulau tersebut.

Sampai ketika Winslow bangun di pagi hari setelah menghabiskan malam bermabuk-mabukan bersama Wake untuk merayakan kepulangan mereka, disitulah Eggers menaikkan tensi nya dengan menyajikan drama psikologi horor kepada penontonnya. Sebagai editor, Louis Ford menunjukkan taji nya disini. Penonton akan dibuat kebingungan mana fakta atau ilusi berkat editing nya. Parahnya lagi, kita juga tidak tahu harus percaya dengan siapa antara Winslow dan Wake. Point of view sedari menit pertama diambil dari Winslow, sehingga kita pun sulit untuk memegang sepenuhnya setiap ucapan dari Wake yang sering kali bertolak belakang dengan apa yang kita saksikan. Mempercayai Winslow pun bukan lah kebijakan yang tepat disebabkan kewarasannya yang semakin tergerus atas faktor tertekan dan kesepian yang melanda. Ya, sosok Winslow semakin lama semakin dikuasai oleh pulau tersebut. 

Hubungan antara Winslow dan Wake pun keanehannya berhasil membuat saya menggaruk kepala saya. Terkadang mereka menghabiskan waktu dengan pesta bersama sembari bersenda gurau, namun di lain kesempatan, tidak jarang terjadi adu mulut antar keduanya, dan semakin mendekati akhir, konflik antara mereka sudah masuk ke level baku hantam. Efektif sekali untuk menambah dosis ketidak nyamanan kepada penonton.

The Lighthouse disokongi oleh penampilan memikat dari Willem Defoe dan Robert Pattinson. Sebagai Wake, Defoe sukses memerankan karakter nya yang keras bagaikan seorang kapten bajak laut. Tubuhnya terlihat telah termakan usia, namun sosoknya layaknya raksasa ketika melontarkan perintah sehingga membuat karakter Winslow mau tidak mau menuruti perintahnya. Namun performa Pattinson patut menjadi highlight dalam film ini. Saya tahu jika Pattinson telah membuktikan dirinya mampu berakting di film-film sebelumnya (kecuali perannya di Twilight franchise), namun saya tidak mengira jika ia memiliki kapabilitas akting seperti yang ia tunjukkan dalam film ini. Kegilaan seorang Winslow ditampilkannya secara total. Simpati mudah diberikan untuknya kala ia berteriak penuh keputus asaan, walau akal sehat nya patut dipertanyakan. Lihatlah ekspresi nya di akhir film yang menyeimbangkan rasa sakit juga kegilaan.

8/10

1 comment:

  1. Poker online dengan presentase menang yang besar
    ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :D
    WA : +855969190856

    ReplyDelete

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!