Thursday 5 December 2019

"I prayed I'd never sin again if I could just get out of here. But then the fighting starts, and then you forget about everything. You're just trying to survive, stay alive"- Frank Sheeran

Plot

Berawal dari pertemuannya dengan Russel Bufalino (Joe Pesci), Frank Sheeran (Robert De Niro) yang awalnya hanyalah supir truk pengantar daging, semakin tenggelam dalam dunia mafia berkat pengaruh Russel yang merupakan salah satu orang paling berpengaruh di Pennsylvania. Kepercayaan yang Russel berikan kepada Frank membuat mereka berteman, dan pertemanan inilah yang mengantarkan Frank nantinya bisa bekerja menjadi pengawal pribadi Jimmy Hoffa (Al Pacino). Jimmy Hoffa sendiri adalah pemimpin serikat buruh di Amerika serta pendiri dari International Brotherhood of Teamsters.



Review

Dengan Goodfellas dan Casino, The Irishman bagaikan penutup trilogi film bertemakan mafia milik Martin Scorsese. Dua aktor yang juga terlibat di dua film tersebut ikut hadir, yaitu Robert De Niro dan Joe Pesci. The Irishman menandakan reuni panjang antara Scorsese bersama De Niro dan Pesci, dimana keduanya terakhir bekerja sama dengan Scorsese pada film Casino. Bagi Joe Pesci sendiri, ini adalah comeback nya setelah 9 tahun absen dalam dunia akting. 

Sebelumnya, saya ingin memberikan pujian kepada studio special effect Industrial Light and Magic yang bertanggung jawab "memudakan" para karakter di adegan flashback nya. Pekerjaan yang mereka lakukan nyaris sempurna, sehingga saya sering bertanya-tanya apakah proses syuting untuk bagian flashback ini dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Tentu bisa dimengerti jika budget dari film ini yang menyentuh angka 159 juta Dollar sebagian besar untuk membuat efek muda tiap karakter terlihat meyakinkan. Masih ada beberapa kekurangan pastinya, tetapi bagi saya masih bisa dimaklumi. 

The Irishman masih didominasi dengan segala tetek bengek kehidupan mafia yang mungkin telah Anda temui di film-fim mafia lainnya, seperti pengkhianatan, pengaruh mafia di dunia pemerintahan dan pastinya saling melenyapkan per individu yang dianggap bisa membahayakan organisasi. Namun yang membedakan The Irishman dengan film lainnya, termasuk Casino dan terutama Goodfellas, bagi saya adalah karakter Frank dan bagaimana Scorsese menyajikan ironi kehidupan dunia mafia nya. Biasanya protagonist utama dalam film mafia memiliki ambisi besar untuk bisa menguasai sesuatu, namun tidak untuk Frank. Disini Frank hanya lah sebagai "karyawan" yang mampu melakukan pekerjaannya dengan baik serta bisa dipercaya sehingga bos yang menyewa jasa nya pun mudah memberikan pekerjaan seberat apapun kepada Frank karena reputasinya. Tidak ada keinginan Frank untuk menjadi kepala pemimpin suatu organisasi. Tidak ada juga niat dari Frank untuk mengkhianati bos yang mempekerjakannya. Yah, setidaknya nanti kala ia harus menjalankan pekerjaan yang mungkin paling berat serta mempengaruhi kehidupannya.

Mengenai ironi yang saya sebut sebelumnya, bila pada Goodfellas serta Casino, Scorsese menyajikan glorifikasi dunia hitam mafia, dengan karakternya menghambur-hamburkan uang yang banyak, bermain wanita, dan sesuka hati bisa menghabisi seseorang dengan alasan apapun, tidak perduli apakah masuk akal atau tidak. Berkat itu juga Goodfellas dan Casino terasa menyenangkan, meskipun film nya sendiri begitu kental dengan dunia kriminalitas. Namun tidak untuk The Irishman. Bila dalam Goodfellas, tiap karakter diberikan kesempatan untuk memperlihatkan keberhasilan atas pekerjaan yang dilakukan, dalam The Irishman, Scorsese memperlihatkan akan busuknya kehidupan mafia yang kejam.  Lengkap pula dengan bagian aftermath yang terdapat dalam film ini, namun minus di dua film predesor. Ya, dengan aftermath yang tersaji, Scorsese menyajikan sebuah fakta pahit yang harus diterima satu karakter. Sebuah hasil memilukan yang tak terlepas dari semua pekerjaan kotor yang telah dilakukan. 

The Irishman terasa begitu padat berkat segala konspirasi serta konflik-konflik yang terjadi. Tidak hanya itu, begitu banyak karakter-karakter yang terlibat dan berpengaruh pada keberlangsungan narasi. Maka merupakan hal yang wajar jika penonton sedikit tersesat, merasa bingung siapa karakter ini dan kapan sebelumnya karakter ini diperkenalkan. Percayalah, Scorsese telah berusaha sebisa mungkin untuk membantu penonton untuk tidak merasakan kebingungan. Terlihat dimana Scorsese berbaik hati menyertakan nama masing-masing karakter pada saat diperkenalkan, lengkap pula dengan "berita" kematian masing-masing dari karakter.

Kenyataan bila naskah yang diadaptasi dari buku Charles Brandt terasa sangat padat, begitu banyak nya karakter serta durasinya yang bukan main panjangnya untuk saya merupakan hal positif serta negatif dari The Irishman. Negatifnya, tentu film ini kurang bisa mencengkeram penonton kasual yang belum pernah mencicipi film Scorsese sebelumnya. The Irishman bertumpu sepenuhnya dengan banter dialognya yang banyak, serta narasi yang disuarakan oleh De Niro sendiri. Melelahkan? Tentu saja, jika Anda, sekali lagi belum pernah menyentuh film-film Scorsese sama sekali. Dan sekali lagi, durasi 3 jam lebihnya benar-benar menuntut kesabaran penonton.

Namun jika Anda merupakan penggemar film, atau lebih tepatnya penggemar Scorsese, The Irishman jelas merupakan sajian mafia epic yang tidak cukup hanya ditonton sekali saja. Berbagai poin cerita mungkin terlupa dengan seiring durasi berjalan, namun itu tidak masalah karena The Irishman sudah berhasil mengikat dengan narasinya. Tentu untuk saya sendiri, The Irishman tidak cukup ditonton sekali saja. Ada perasaan ingin menonton kembali dari awal, karena selain kisahnya sendiri yang benar-benar menarik (kisah dunia underworld memang tak bisa disangkal selalu menarik untuk diikuti), namun juga berkat penyutradaraan dari Scorsese yang semakin menunjukkan tajinya walau telah berusia cukup uzur.

Identitas gaya penyutradaraan Scorsese tentu saja masih mudah terasa. Opening nya saja ia tampilkan dengan tracking shot ciri khas Scorsese, sebelum kita akhirnya melihat sosok Frank yang sedang duduk di kursi roda nya, dan seketika breaking the 4th wall pun sudah hadir, dimana Frank pun mulai menceritakan kisah nya sambil menatap ke kamera. Voice over mendominasi dalam jalannya menit-menit film berjalan untuk membantu penonton supaya tidak terlalu bingung dengan rumitnya penceritaan yang ada. 

Di atas kertas, film Scorsese yang ke 26 ini terlihat kelam, namun fakta di lapangan cukup berbeda, dimana Scorsese masih menyelipkan beberapa black comedy yang bisa membuat mu tertawa, setidaknya untuk saya. Dan mengejutkannya lagi, Al Pacino, yang baru pertama kali bekerja sama dengan Scorsese, merupakan penyumbang tawa terbanyak berkat karakternya yang keras kepala, kharismatik dan memiliki masalah pada short temper nya. Komentarnya mengenai nama "Tony" yang begitu mainstream untuk orang kelahiran Italia adalah satu dari sekian banyak nya Al Pacino mampu membuat saya tertawa di kala adegan yang sebenarnya bisa meningkatkan tensi ketegangan. Naskah dari Steven Zaillian begitu pintar dalam menyajikan humor nya yang pas akan timing serta berkelas. 

Akting yang begitu berenergi dari Al Pacino turut pula diimbangi dengan penampilan memuaskan dari Robert De Niro dan Joe Pesci. Pesci sendiri memerankan karakter yang begitu berbeda dibandingkan dengan dua peran sebelumnya di Goodfellas dan Casino. Disini ia tampil dengan lebih tenang, lebih mengandalkan baris dialog untuk menunjukkan kewibawaan tanpa menghilangkan atmosfir intimidatif dari karakternya. De Niro pun tampil luar biasa sebagai protagonist utama dalam menampilkan konflik batin dari Frank dengan memanfaatkan ekspresi muka yang subtil, kaya makna, serta tatapan mata nya yang sayu akibat dari kondisi yang tidak mengijinkannya untuk mengambil keputusan berdasarkan keinginannya sendiri. Tidak heran jika nantinya ketiga nama aktor veteran ini akan tampil di daftar nominasi aktor utama/pendukung terbaik di perhelatan Oscar tahun depan.

Momen terbaik The Irishman sendiri adalah ketika Frank dihadapkan pada dilema yang memaksanya harus menghadapi keputusan yang sangat sulit. Dari sini, Scorsese meminimalisir penggunaan soundtrack-soundtrack nya demi mengoptimalkan ketegangan di setiap adegan. Slow build yang dilakukan Scorsese kala Frank menginjakkan kaki di kota Detroit berhasil memaksa saya ikut merasakan kegelisahan serta dilematis yang dirasakan Frank. Apakah ia harus mengikuti perintah dari orang yang telah membesarkannya atau menyelamatkan salah satu teman terdekatnya. Yang mana pun nanti ia pilih, tentu tidak akan berdampak baik untuk Frank. Disinilah The Irishman menunjukkan betapa pahitnya dunia mafia yang Frank geluti. 

Begitu ironis kala Frank rela melakukan berbagai kejahatan tentunya untuk membuat keluarganya sejahtera dan hidup tenang. Frank begitu menyayangi keluarganya, bahkan ketika salah satu putrinya didorong oleh pemilik toko roti, Frank tanpa pikir panjang menghampiri dan menghajar pemilik tersebut. Namun pada akhirnya, pekerjaan yang dilakukan Frank tetaplah kejahatan dan semua benih kejahatan yang ia lakukan harus memaksanya untuk semakin menjauh dari keluarga, terutama anak-anaknya. Bisa saja Frank melakukan pekerjaannya sebagai hitman dengan brilian, namun bukan berarti ia juga berhasil menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. 

Setelah sebelumnya kita menyaksikan semua intrik serta konflik yang terjadi, 30 menit terakhir dalam The Irishman justru tampil dengan sunyi. Mengeksplorasi kehidupan tua dari satu karakter yang penuh dengan penyesalan, bersalah atas semua kesalahan yang telah dilakukan, tanpa seorang pun disisinya. Meninggalkan ia sendiri setelah yang terkasih, teman atau bahkan musuhnya telah berkunjung ke kehidupan selanjutnya terlebih dulu. Kehidupan masa tua nya ini seolah merupakan pembalasan atas masa lalu akibat penyakit yang diderita, rasa berdosa dan sesal, juga kesendirian yang harus ia tempuh. Sebuah aftermath yang cukup emosional dan sempurna untuk menutup kisah epik dari Scorsese ini. 

9/10

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!